Kamis, 07 Mei 2009

Kerajaan Minangkabau

KERAJAAN MINANGKABAU
Diperkirakan bahwa Kerajaan MINANGKABAU itu sudah berdiri semenjak abad ke-7 M,
yaitu dilembah sungai kampar dan Batanghari, kita sebut sebagai Kerajaan MINANGKABAU
Timur. Pada pertengahan abad ke-14 M, berdiri Kerajaan MINANGKABAU yang berpusat di
Pagaruyung Luhak Tanah Datar. Kerajaan ini hidup sampai permulaan abad ke-19 M.
Pada pertengahan abad ke-14, yang memegang tampuk kekuasaan di wilayah
MINANGKABAU adalah Datuk Katumanggungan.
Pada era itulah Adityawarman datang dari Majapahit, Jawa.
Ibu Adityawarman adalah seorang wanita yang berasal dari MINANGKABAU.
Dia kemudian dinobatkan menjadi Raja di Pagaruyung pada tahun 1349.
Kerajaan minangkabau PAGARUYUNG ini pada hakekatnya telah berakhir pada
tahun 1809, ketika Sultan Muningsyah I meninggalkan istana.
Raja-raja yang bertahta sesudahnya di Pagaruyung adalah Sultan Muningsyah II dan
Muningsyah III serta Puti Reno Sumpur.
Akan tetapi kekuasaan masing-masing Sultan dan Puti ini tidaklah begitu besar lagi.
Puti Reno Sumpur lahir di Sumpur Kudus, tempat kedudukan resmi Rajo Ibadat, pada tahun
1816, dan wafat di Pagaruyung pada tahun 1912 dalam usia 96 tahun.
Dari pihak ibu ia adalah keturunan Rajo Ibadat Sumpur Kudus, sedangkan dari pihak bapak ia
adalah keturunan seorang Rajo Adat di Buo. Dengan demikian, ia merupakan salah seorang
keturunan asli dari Raja-raja di MINANGKABAU.
Sebagai keluarga istana, ia berdaulat di daerah Singingi dan Gunung Sahilan.
Setelah Sultan Muningsyah II yang bergelar Sultan Alam Bagagarsyah dibuang
Belanda ke Betawi tahun 1833 tidak ada lagi raja bertahta di Pagaruyung. Barulah pada
akhirnya abad ke-19, Puti Reno Sumpur dijemput ke Gunung Sahilan dan didudukkan
kembali di Istana Balai Janggo, Pagaruyung, sebagai Tuan Gadih, yaitu Ratu yang tiada
berdaulat.
Kerajaan MINANGKABAU pada masa kejayaannya pada 14 dan 15 mempunyai
wilayah kekuasaan yang batas-batasnya meliputi :
1. Sebelah Timur antara kerajaan Palembang dan Sungai Siak
2. Disebelah Barat antara kerajaan Manjuto di Muko-Muko dan Sungai Singkel
3. Daerah asli kerajaan adalah Luhak Nan Tigo sekarang yaitu; Luhak Tanah Datar,
Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluah Koto.
Raja-raja dari kerajaan inilah yang kemudian memperbesar daerah pengaruhnya dari
pantai barat sampai pantai timur,sehingga mencakup kerajaan-kerajaan Indrapura, Indragiri,
dan Pucuk Jambi Sembilan Lurah.
Raja-raja dari daerah tersebut itu mengakui raja yang berkedudukan di Pagaruyung sebagai
“Raja Alam”, yaitu sebagai maharaja di antara mereka.
Dengan kata lain dapat dikemukakan, bahwa daerah kekuasaan MINANGKABAU
pada masa itu mencakup seluruh daerah Propinsi sumatera Barat kini, serta sebahagian
Propinsi Riau dan sebahagian Propinsi Jambi; hampir sama dengan daerah Propinsi Sumatera
Tengah pada permulaan kemerdekaan RI.
Adityawarman adalah putra Dara Jingga yang berasal dari keturunan Melayu
MINANGKABAU itu, dibesarkan dalam lingkungan istana majapahit yang beragama Hindu.
Pada tahun 1340 ia diutus oleh Raja Majapahit untuk menaklukkan MINANGKABAU dan
mengusai daerah penghasilan lada, karena pasukan-pasukan yang diutus sebelumnya
menemui kegagalan ketika berhadapan dengan Datuk Katumanggungan dan datuk Perpatih
Nan Sabatang. Mereka bukan kalah dalam pertempuran , melainkan kalah dalam sayembara
“Batakok Kayu Tataran Naga” dan “Adu Kerbau”.
Cerita tentang sayembara ini memperlihatkan “kecerdikan” orang Minang saja.
Pada waktu pasukan Majapahit dengan kekuatan yang lebih unggul dari kekuatan Datuk
Katumanggungan, memasuki wilayah MINANGKABAU, sang Datuk menjalankan siasatnya.
Komandan pasukan Majapahit diajak “beradu pintar” dengan Datuk.
Masing-masing disuruh menerka ujung dan pangkal dari sepotong kayu yang dinamakan
“Kayu Tataran Naga”. Kalau sang komandan dan rombongan berhasil menerkanya, maka
kekuasaan di MINANGKABAU bisa dia peroleh. Ternyata mereka gagal menerkanya, sedang
Datuk Katumanggungan berhasil dengan baik menunjukan mana pangkal dan mana ujung dari
sepotong kayu, yaitu dengan memasukan kayu itu ke air. Bagian pangkal kayu adalah yang
lebih dalam terbenamnya dibanding bagian ujungnya, karena ia lebih berat.
Rombongan pendatang mengaku kalah dan dengan sukarela kembali ke Majapahit.
Majapahit belum puas dengan misinya. Maka pasukan dikirim lagi untuk kedua
kalinya. Kedatangan pasukan ini pun dihadapi dengan siasat lain, yaitu “beradu Kerbau”.
Dan sebagaimana telah dipaparkan sebelumya, pasukan Majapahit pun kalah .
Ternyata, ”orang Minang memang banyak aka”
Dia mau terimpit - asal diatas.
Dia mau terkurung - asal di luar.
Kalau berjalan bergandeng dua - dia harus ditengah-tengah.
Dangakan nan di urang-lakukan nan di awak.
“ikolah cadiak pandai namonyo”, “psikhis resah”
Kesudahannya, sekitar pertengahan abad ke 14, Adityawarman datang ke
MINANGKABAU. Karena ibunya berasal dari orang Melayu MINANGKABAU, maka dia
terima. Dan tepat pada tahun 1347 Adityawarman berhasil mendirikan kerajaan
Suwarnabbumi di daerah Melayu/Jambi yang kaya dengan penghasilan lada. Sementara itu ia
senantiasa memperluas daerah kekuasaannya, hingga akhirnya, ia menguasai seluruh daerah
MINANGKABAU, dan memindahkan pusat kerajaan ke Pagaruyung di tempat yang bernama
Bukit Batu Patah. Dan ia berusaha untuk melepaskan hubungannya dengan kerajaan
Majapahit dan menjadi raja yang berdiri sendiri.
Mengingat latar belakang kehidupan dan pendidikanya di kerajaan Majapahit yang
beragama Hindu, Adityawarman sangat terpengaruh dengan sistem pemerintahan yang
otokratis dan susunan masyarakat berkasta-kasta. Sedang di MINANGKABAU didapatinya
cara pemerintahan yang demokratis berdasarkan musyawarah serta susunan masyarakat yang
tidak mengenal kasta, melainkan berdasarkan prinsip “duduk samo randah, tagak samo
tinggi”. Nagari-nagari di MINANGKABAU lebih mirip dengan republik-republik kecil yang
berdiri sendiri sehingga kekuasaan raja tidak dapat menjangkau urusan dalam masing-masing
nagari itu. Hal ini dipandangnya sebagai pengerbirian terhadap kekuasaan raja dan
menghambat kelancaran jalannya pemerintahan.
Oleh karena itu, Adityawarman mengemukan keinginannya supaya masyarakat di
Minagkabau disusun berkasta-kasta seperti yang berlaku dalam masyarakat Hindu, dan agar
pemerintahan diatur seperti yang berlaku di Majapahit, yaitu bertingkat-tingkat, sehingga
setiap nagari dikuasai penuh oleh raja. Keinginan ini mendapat tantangan , karena masyarakat
MINANGKABAU tidak menyukai hidup berkasta-kasta, dan mereka menjunjung tinggi
kehidupan demokrasi, dimana tiap-tiap nagari berhak mengatur dirinya sendiri.
Dengan kebijaksanaan para pemimpin adat, yaitu Datuk Katumanggungan dan datuk
Perpatih Nan Sabatang, didapatlah kompromi:
Pertama, bahwa pangkat-pangkat adatlah yang diatur bertingkat-tingkat, sehingga di samping
Penghulu sebagai kepala suku, diadakan pangkat Manti, Malin dan Dubalang. Sedangkan
kehidupan bersuku, berkampung dan bernagari tetap berdasarkan kerakyatan dan
musyarawah, serta duduk sama rendah, tegak sama tinggi.
Selain dari ketetapan tersebut diatas, masih ada beberapa ketetapan lainnya yang telah
disepakati bersama. Pertama, bahwa Adityawarman hanya diberi kedaulatan di daerah Rantau,
yaitu Pasaman, Pesisir Panjang, Kuantan, batanghari, Kampar dan Rokan.
Sedang di daerah Luhak Nan Tigo (Agam, Lima Puluh Koto dan Tanah datar ) ia hanyalah
sebagai lambang kesatuan saja, sebagai penengah atau pendamai, bila terjadi perselisihan.
Kedua, bahwa sebagai raja, ia tidak ikut dalam kehidupan bersuku karena sebagai penengah
ia harus berada di atas semua suku.
Ketiga, bahwa raja tidak mempunyai hak ulayat atas tanah karena hak ulayat tersebut
merupan hak mutlak bagi setiap nagari dan suku-suku dalam nagari.
Dengan demikian, kekuasaan Adityawarman sebagai raja MINANGKABAU yang
bertahta di Pagaruyung tidaklah mutlak, tidak mencakup seluruh daerah kerajaan
MINANGKABAU, dan tidak pula dapat menjangkau urusan-urusan dalam tiap-tiap nagari.

Tidak ada komentar: