Minggu, 03 Mei 2009

Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah

ADAT BASANDI SYARA’, SYARA’ BASANDI KITABULLAH
HANYA SEBATAS KONSENSUS, BUKAN PRODUK HUKUM
Oleh
Wisran Hadi
Hampir semua orang Minang beranggapan bahwa ADAT BASANDI SYARA’,
SYARA’ BASANDI KITABULLAH (selanjutnya disingkat ABS-SBK) adalah hasil
kesepakatan antara alim ulama, ninik mamak dan candiak pandai di Bukit
Marapalam dipenghujung Perang Paderi.
Namun sampai sekarang, tidak seorangpun ahli sejarah apalagi para penghulu
yang dapat menyodorkan manuskrip atau naskah kesepakatan itu kepada kita.
Para ahli sejarah maupun para penghulu pun tidak berani menentukan hari, tanggal,
bulan dan tahun bila lahirnya kesepakatan itu.
J uga mereka tidak dapat menyajikan kepada kita daftar nama-nama para ulama,
ninik mamak dan cadiak pandai yang hadir dan menyetujuinya.
Untuk menyenangkan hati dan menenangkan emosi orang Minang dari malu
sejarah, untunglah sejarawan mau mengklasifikasikan peristiwa itu sebagai
“historiografi”, dipercaya oleh masyarakat setempat walau tidak dapat dibuktikan
secara ke ilmuan.
Menurut pendapat orang Minang itu lagi, ABS-SBK lahir ketika masyarakat
Minangkabau berada di bawah tekanan Belanda dan kehancurannya dalam Perang
Paderi. Dengan kata lain ABS-SBK dilahirkan dalam suatu situasi dan kondisi politik
tertentu, tidak lahir dari suatu renungan yang jernih dan mendalam.
2
ABS-SBK tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori hukum dalam tatanan
hukum adat Minangkabau sebagaimana Undang-undang Nan Duo Puluah, syarat,
wewenang dan kewajiban seorang penghulu, persyaratan bagi sebuah nagari dan
hukum-hukum lainnya. Hukum-hukum itu dibuat disertai dengan sanksi-sanksinya.
Sedangkan ABS-SBK tidak punya sanksi hukum yang jelas, dibanding dengan
jelasnya sanksi hukum bagi pelanggar Undang-undang Adat Nan Duo Puluh
misalnya.
Boleh jadi ABS-SBK hanya sebatas konsensus saja, hasil dari suatu konspirasi.
Mungkin ada beberapa orang penghulu dan beberapa ulama mencari “sitawa
sidingin” mendamaikan kedua pihak (ulama dan ninik mamak) yang telah
babakbelur dalam perang saudara yang panjang itu.
Bisa jadi juga ABS-SBK itu merupakan upaya penjajah untuk mengaburkan
batas antara hukum adat dan hukum Islam. Oleh karena ABS-SBK bukan produk
hukum, maka sulit dilakukan koreksian atau evaluasi, apakah ABS-SBK sudah sesuai
dan memang dijalankan oleh masyarakatnya dalam kehidupan mereka atau tidak.
Sampai sekarang tidak diketahui siapa yang berwenang melakukan evaluasi dan
koreksi bila ABS-SBK tidak dijalankan dan siapa yang berhak mengajarkannya secara
jelas, sistematis dan seragam untuk seluruh kawasan adat dan budaya Minangkabau.
Para penghulu? Ninik mamak? Guru-guru yang mengajarkan BAM di sekolahsekolah?
Sebagai perbandingan, pelajaran agama diajarkan oleh guru agama, ustad,
khatib dan ulama. Tapi untuk mengajarkan ABS-SBK siapa?
Tidak adanya usaha untuk mengevaluasi ABS-SBK (karena lembaga yang
berwenang melakukannya tidak jelas) dari satu sisi dapat dikatakan bahwa orang
Minang berhenti berpikir sampai pada adagium itu saja.
Mereka tidak mampu lagi meneruskan pikiran-pikirannya untuk mencari adagium
adat yang lebih aktual dan mantap guna menjawab tantangan masa depan.
Artinya di sini, proses berpikir mereka macet karena tidak berani ke luar dari pola
berpikir yang lama. Dalam kenyataannya sekarang, ABS-SBK yang dibanggabanggakan
itu, ternyata hanya menjadi kalimat-kalimat nyanyian para penghulu saja.
3
Tidak pernah ada usaha mereka untuk mengoreksi, mengevaluasi dan
mengaktualisasikannya secara nyata dan terencana.
Akibatnya adalah, ABS-SBK ditafsirkan secara serampangan oleh mereka yang
datang kemudian. Ada yang menafsirkan secara aktual sesuai dengan kebutuhankebutuhan
tertentu. Dari segi kebahasaan misalnya, ABS-SBK adalah adagium yang
rancu. Orang Minang dulu memahamkan kata “Kitabullah” adalah Al-Quran.
Tetapi kemudian, dalam pemahaman masyarakat Minang yang sekarang,
“Kitabullah” diartikan “kitab yang diturunkan Allah kepada para rasul.”
Makanya Kitabullah di sini tidak lagi hanya Al-Quran, tetapi juga Injil, Taurat dan
Zabur. Secara aktual hal itu telah terbukti, bahwa akar permasalahan kristenisasi di
Sumatera Barat adalah dalam kerangka penafsiran demikian.
Begitu juga dengan kata adat basandi syara’. Syara’ berarti hukum. Ketika
adagium itu berhenti sampai di situ, maka adat itu dapat saja bersendikan kepada
hukum-hukum yang ada, hukum negara dan hukum agama. Dalam beberapa buku
tentang pepatah petitih dan adat Minangkabau yang dikarang oleh beberapa
penghulu, mereka telah mencoba mencarikan korelasi antara adat Minangkabau
dengan Pancasila. Kesimpulannya adalah, bahwa adat Minangkabau itu adalah
Pancasila. Mungkin pada masa berikutnya, akan ada pula yang menulis tentang adat
Minangkabau sebagai rujukan reformasi di Indonesia.
J ika orang Minang mau berpikir logis, bahwa Islam yang dianutnya adalah
satu-satunya pedoman hidup dunia akhirat, maka konsekuensinya mereka harus
merubah ABS-SBK menjadi jelas dan tuntas;
Adat Basandi Al Quran dan Hadist atau Adat Minangkabau itu adalah Al Quran dan
Hadist.
Kata-kata yang kabur makna seperti ABS-SBK, yang dapat membuat orang
menafsirkan salah harus dibuang. Setidak-tidaknya untuk menghindari penafsiranpenafsiran
yang mengacaukan.
4
Tapi mungkin, belum akan ada orang Minang yang berani untuk merubah
adagium ABS-SBK itu. ABS-SBK telah terlanjur dikeramatkan, disakralkan, walau
arti, penafsiran dan pelaksanaannya telah mulai dikaburkan.
Persis seperti Pancasila, disaktikan dan disakralkan sebagai dasar negara. Padahal
ABS-SBK hanya sebuah konsensus, bukan hukum.
Kerancuan cara berpikir yang tercermin dari ABS-SBK dapat pula ditemukan
dalam segi yang lain, yaitu pada sistim adatnya.
Dua sistim adat yang dijalankan secara bersamaan; Kelarasan Koto Piliang (KKP)
dan Kelarasan Bodi Caniago (KBC), telah mengakibatkan timbulnya berbagai
kerancuan pengertian dalam bentuknya yang lebih parah.
Penghulu penganut KBC tidak mengakui pernah adanya kerajaan di Minangkabau,
walaupun semua buku sejarah di dunia ini mengakui dan membuktikan pernah
adanya kerajaan di Minangkabau.
Dalam kaitan ini, mereka berdiri sebagai orang-orang yang anti sejarah.
Mereka mengartikan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi sebagai suatu
sistem demokrasi dan tidak harus mengakui kenyataan sejarah tersebut.
(Mereka icak-icak lupa memperbandingan dengan negara Inggris, Belanda,
Belgia dan lainnya, yang sampai sekarang masih mengakui raja-rajanya).
Sementara penghulu penganut Kelarasan Koto Piliang (KKP) tetap mengakui dan
meyakininya sampai sekarang keberadaan institusi Rajo Tigo Selo, Basa Nan Ampek
Balai dan seterusnya.
Kerancuan pengertian demikian ditambah pula dengan berbagai faktor
lainnya menyebabkan orang Minang jadi “mendua” dalam bertindak.
Menurut kaidah psikologi kemenduaan ini disebut split personality , atau
keperibadian yang terpecah.
Mereka selalu ragu menentukan pilihan. Dan hal itu memang terbukti sampai
sekarang. Mereka ragu atau mendua untuk bersikap tegas dalam mencegah masalah
kristenisasi di Minangkabau. Padahal gejala itu sangat mencemaskan semua orang
Minang dan dapat mengancam keberadaan ABS-SBK, tetapi mereka masih tetap
5
“lihat-lihat” dulu. Mereka lebih memilih “aman” daripada menegakkan syariat Islam
atau mempertahankan ABS-SBK yang sejak lama mereka keramatkan.
Akibat berikutnya dari kerancuan itu, mereka tergelincir dari logika.
Maksudnya adalah, mereka menginginkan sesuatu tetapi tidak disertai usaha yang
jelas dan logis. Seperti misalnya;
(a) Mereka ingin mempertahankan dan melestarikan adat, logikanya adalah; mereka
harus mendidik dan mengajarkan serta menerapkan adat itu kepada keluarga, kaum
dan seluruh lapisan masyarakatnya.
Tapi justru yang mereka perdebatkan adalah masalah kembali ke nagari.
(b) Mereka ingin menjalankan adat secara benar, tetapi yang diperkuat adalah
organisasi datuk-datuk, bukan lembaga-lembaga adat di nagari-nagari.
(c) Mereka ingin menjalankan syariat Islam tapi mereka lebih suka mempertahankan
ABS-SBK sebagai sebuah adagium, semboyan, daripada bertindak menjalankan
syariat Islam. J ika mereka mau menjalankan syariat Islam dengan baik, tidak perlu
dikait-kaitkan dengan ABS-SBK. Jalankan saja, buat peraturan baru.
Jangan berdalih dan jangan berkilah macam-macam.
Orang Aceh misalnya, tidak punya adagium ABS-SBK, tapi mereka dapat dan sepakat
menjalankan syariat Islam di Aceh.
Oleh karena itu, sebelum tergelincir lebih jauh dari logika, sudah waktunya
orang Minang ke luar dari pola pikir lama yang rancu.
Sebagai batu ujinya adalah, mereka harus berani berterus terang untuk mengatakan
bahwa adatnya bersendi Al Quran dan Hadist secara jelas dan gamblang.
Tidak perlu lagi memakai bahasa sastra berbunga-bunga yang ambiguitas dan yang
telah membuka peluang ditafsirkan untuk bermacam-macam kepentingan.
Persoalannya sekarang adalah, dapatkah sebuah seminar yang berwibawa
mampu membuktikan bahwa ABS-SBK bukan sebuah konsensus atau dapatkah
mereka mengubah status ABS-SBK dari sebuah konsensus menjadi suatu produk
hukum dengan redaksional yang jelas dan gamblang serta sanksi-sanksinya yang
dapat diterapkan?
6
Sekali-sekali orang Minang juga harus jujur pada dirinya. Ketidakmampuan
kita tidak perlu ditutup-tutupi dengan petatah-petitih yang kabur makna dan
keterampilan bersilat lidah. Kebiasaan seperti itu sudah waktunya ditinggalkan.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah; 216)
Wallahualam.

Tidak ada komentar: