Kamis, 07 Mei 2009

Pagaruyuang5

Ahli Waris dan Keturunan
DAULAT YANG DIPERTUAN
SULTAN ALAM BAGAGAR SYAH
Raja Alam Pagaruyung
Berdasarkan Silsilah Ahli Waris Daulat yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung,
Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah yang dikenal juga dengan
panggilan Yang Dipertuan Hitam mempunyai empat orang saudara; Puti Reno Sori, Tuan
Gadih Tembong, Tuan Bujang Nan Bakundi dan Yang Dipertuan Batuhampar, hasil
perkawinan dari Daulat yang Dipertuan Sultan Alam Muningsyah (II) yang juga dikenal
dengan kebesarannya Sultan Abdul Fatah Sultan Abdul Jalil (I) dengan Puti Reno Janji Tuan
Gadih Pagaruyung XI.
Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah menikah pertama kali
dengan Siti Badi’ah dari Padang mempunyai empat orang putera yaitu: Sutan Mangun Tuah,
Puti Siti Hella Perhimpunan, Sutan Oyong (Sutan Bagalib Alam) dan Puti Sari Gumilan.
Dengan isteri keduanya Puti Lenggogeni (kemenakan Tuan Panitahan Sungai Tarab)
mempunyai satu orang putera yaitu Sutan Mangun (yang kemudian menjadi Tuan Panitahan
SungaiTarab salah seorang dari Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung).Sutan Mangun
menikah dengan Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII (anak Puti Reno Sori
Tuan Gadih Pagaruyung XII dan kemenakan kandung dari Sultan Alam Bagagarsyah).
Dengan isteri ketiganya Tuan Gadih Saruaso (kemenakan Indomo Saruaso, salah
seorang Basa Ampek Balai Kerajaan Pagaruyung) mempunyai putera satu orang: Sutan
Simawang Saruaso (yang kemudian menjadi Indomo Saruaso).
Dengan isteri keempatnya Tuan Gadih Gapuak (kemenakan Tuan Makhudum
Sumanik) mempunyai putera dua orang yaitu Sutan Abdul Hadis (yang kemudian menjadi
Tuan Makhudum Sumanik salah seorang Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung) dan
Puti Mariam. Sutan Abdul Hadis mempunyai delapan orang putera yaitu: Sutan Badrunsyah,
Puti Lumuik, Puti Cayo Lauik, Sutan Palangai, Sutan Buyung Hitam, Sutan Karadesa, Sutan
M.Suid dan Sutan Abdulah. Puti Mariam mempunyai dua orang putera : Sutan Muhammad
Yakub dan Sutan Muhammad Yafas (kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik)
Adik perempuan dari Daulat Sultan Alam Bagagarsyah yaitu Puti Reno Sori yang
kemudian dinobatkan menjadi Tuan Gadih Pagaruyung XII menikah dengan saudara
sepupunya Daulat Yang Dipertuan Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan
Sembahyang II Raja Adat Pagaruyung, mempunyai seorang puteri yaitu Puti Reno Sumpu
Tuan Gadih Pagaruyung XIII. Puti Reno Sumpu dengan suami pertamanya Sutan Ismail Raja
2
Gunuang Sahilan mempunyai seorang puteri: Puti Sutan Abdul Majid. Sedangkan dengan
suami keduanya: Sutan Mangun Tuan Panitahan Sungai Tarab (putera dari Sultan Alam
Bagagarsyah) mempunyai seorang puteri: Puti Reno Saiyah Tuan Gadih Mudo (Tuan Gadih
ke XIV). Puti Reno Saiyah ini menikah dengan Sutan Badrunsyah Penghulu Kepala Nagari
Sumanik (putera dari Sutan Abdul Hadis dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah)
mempunyai putera empat orang yaitu: Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam Tuan Gadih Ke
XV, Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang, Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek dan
Sultan Ibrahim Tuanku Ketek.
Puti Reno Aminah dengan suami pertamanya Datuk Rangkayo Basa, Penghulu
Kepala Nagari Tanjung Sungayang mempunyai seorang puteri: Puti Reno Dismah Tuan
Gadih Gadang (Tuan Gadih Pagaruyung XVI) dan dengan suami keduanya Datuk Rangkayo
Tangah dari Bukit Gombak mempunyai putera satu orang: Sutan Usman Tuanku Tuo.
Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang menikah dengan Sutan Muhammad Thaib Datuk
Penghulu Besar (ibunya Puti Siti Marad adalah cucu dari Sutan Abdul Hadis dan cicit dari
Sultan Alam Bagagarsyah, sedangkan ayahnya Sutan Muhammad Yafas adalah anak dari Puti
Mariam dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera enam orang: Puti Reno
Soraya Thaib, Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, Sutan Muhammad Thaib Tuanku Mudo
Mangkuto Alam, Puti Reno Yuniarti Thaib, Sutan Muhammad Farid Thaib, Puti Reno
Rahimah Thaib.
Sutan Usman Tuanku Tuo menikah dengan Rosnidar dari Tiga Batur (cicit dari Sutan
Mangun anak Sutan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera delapan orang: Puti Rahmah
Usman, Puti Mardiani Usman, Sutan Akmal Usman Khatib Sampono, Sutan M .Ridwan
Usman Datuk Sangguno, Sutan Rusdi Usman Khatib Muhammad, Puti Rasyidah Usman, Puti
Widya Usman, Sutan Rusman Usman, Puti Sri Darma Usman.
Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang tidak mempunyai putera.
Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek menikah dengan Ibrahim Malin Pahlawan dari
Bukit Gombak mempunyai putera tiga orang: Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah, Puti
Reno Fatima Zahara Tuan Gadih Etek dan Sutan Ismail Tuanku Mudo.
Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah menikah dengan Sy.Datuk Marajo dari Pagaruyung
mempunyai seorang putera : Sutan Syafrizal Tuan Bujang Muningsyah Alam.
Puti Reno Fatima Zahara menikah dengan Sutan Pingai Datuk Sinaro Patiah Tanjung Barulak
(adalah cicit dari Puti Fatimah dan piut dari Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang
Dipertuan Sembahyang) mempunyai putera delapan orang: Sutan Indra Warmansyah Tuanku
3
Mudo Mangkuto Alam, Sutan Indra Firmansyah, Sutan Indra Gusmansyah, Puti Reno Endah
Juita, Sutan Indra Rusmansyah, Puti Reno Revita, Sutan Nirwansyah Tuan Bujang Bakilap
Alam, Sutan Muhammad Yusuf.
Sutan Ismail Tuanku Mudo menikah dengan Yusniar dari Saruaso (adalah cicit dari Yam
Tuan Simawang anak Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera tujuh orang: Sutan
Fadlullah, Puti Titi Hayati, Sutan Satyagraha, Sutan Rachmat Astra Wardana, Sutan
Muhammad Thamrinul Hijrah, Puti Huriati, Sutan Lukmanul Hakim.
Sutan Ibrahim Tuanku Ketek dengan isteri pertamanya Dayang Fatimah dari Batipuh
(kemenakan Tuan Gadang Batipuh) mempunyai seorang putera: Sutan Syaiful Anwar Datuk
Pamuncak; dengan istri keduanya Nurlela dari Padang mempunyai seorang putera: Sutan
Ibramsyah dan isteri ketiganya Rosmalini dari Buo mempunyai puteri dua orang: Puti
Roswita dan Puti Roswati.
Dari kutipan Silsilah Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung dapat
dilihat bahwa ahli waris baik berdasarkan garis matrilineal maupun patrilineal adalah
anakcucu dari Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII yang sampai sekarang
mewarisi dan mendiami Istano Si Linduang Bulan di Balai Janggo Pagaruyung Batusangkar.
Setelah mamaknya Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap Belanda pada tanggal 2 Mei
1833 dan dibuang ke Batavia dan ayahnya Daulat Yang Dipertuan Abdul Jalil Yang
Dipertuan Sembahyang mangkat di Muara Lembu, maka Yang Dipertuan Gadih Puti Reno
Sumpu dijemput oleh Datuk-datuk Yang bertujuh untuk kembali ke Pagaruyung melanjutkan
tugas mamak dan sekaligus tugas ayahnya sebagai Raja Alam dan Raja Adat.
Sesampainya di Pagaruyung, ternyata tidak ada lagi istana yang berdiri di Pagaruyung
karena telah dibumi hanguskan. Kemudian pemerintah Belanda menawarkan bantuan untuk
mendirikan istananya di Gudam atau di Kampung Tengah atau di Balai Janggo. Beliau
memilih mendirikan istananya di Balai Janggo dengan alasan dekat dengan padangnya,
Padang Siminyak (diceritakan oleh cucu beliau Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam kepada
penulis). Nama Istana Si Linduang Bulan kembali dipakai (nama istana tempat kediaman
Raja Pagaruyung sejak dulu) untuk nama istana yang baru itu, sekaligus sebagai pengganti
dari istana-istana raja Pagaruyung yang terbakar semasa Perang Paderi.
Istana Si Linduang Bulan ini kemudian terbakar lagi pada tanggal 3 Agustus 1961.
Atas prakarsa Sutan Oesman Tuanku Tuo ahli waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam
Pagaruyung beserta anak cucu dan keturunan; Tan Sri Raja Khalid dan Raja Syahmenan dari
Negeri Sembilan, Azwar Anas Datuk Rajo Sulaiman, Aminuzal Amin Datuk Rajo Batuah,
4
bersama-sama Sapiah Balahan, Kuduang Karatan, Timbang Pacahan, Kapak Radai dari
Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung serta Basa Ampek Balai dan Datuk Nan
Batujuh Pagaruyung, Istana Si Linduang Bulan dibangun kembali dan diresmikan pada
tahun 1989.
*
Riwayat hidup dan perjuangan
SULTAN ALAM BAGAGAR SYAH
Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Minangkabau
(bahan-bahan dikutip dan dilengkapi dari buku;
SULTAN ALAM BABAGAR SYAH (1789-1949)
Raja Pagaruyung – Minangkabau yang terakhir
yang ditulis oleh
Drs.Mardanas Safwan
Anggota Panitia Sementara Penyelamat Makam Sultan Alam Bagagar Syah yang diketuai
oleh Prof.Dr.Hamka - 1975)
Sultan Alam Bagagar Syah yang juga memakai nama gelar Yang Dipertuan Hitam lahir
pada tahun 1789 di Balai Janggo Pagaruyung – Batusangkar Sumatera Barat. Beliau adalah
cucu dari raja Minangkabau yang bernama “Raja Alam Muning Syah” ( 9, h.2 ).
Sewaktu timbul Gerakan Padri di Minangkabau (1804 – 1821), Raja Alam Muning Syah
menyingkir ke daerah Batang Kuantan dan menetap di Lubuk Jambi, untuk menghindari
pertumpahan darah dengan Gerakan Padri.
Pada tahun 1819 Inggris menyerahkan kembali kota Padang ke tangan Belanda sesuai
dengan perjanjian London (13, h.127). Sesudah Belanda berkuasa kembali di kota Padang,
maka mereka berusaha mencampuri perang saudara yang timbul karena Gerakan Padri. Karena
Belanda ikut campur dalam persoalan intern Minangkabau, maka timbullah perang Padri (1821-
1837) antara Belanda dan Rakyat Minangkabau.
Setelah Belanda berkuasa kembali di Minangkabau, maka pada tahun 1825 komandan
pasukan Belanda di daerah Sumatera Barat, yaitu “Letnan Kolonel Raaf” meminta kepada Raja
Alam Muning Syah untuk pulang kembali ke Minangkabau. Beliau bersedia pulang tetapi tidak
bersedia memegang pemerintahan lagi karena umur beliau telah terlalu tua. Tetapi walaupun
begitu Belanda memberi hak pensiun kepada beliau sebagai penghormatan. Tidak begitu lama
hidupnya di Pagaruyung, maka pada tanggal 1 Agustus 1825 Raja Alam Muning Syah mangkat
5
dalam usia 80 tahun (8, h.14). Sebagai ganti Raja Alam Muning Syah, maka diangkatlah cucu
beliau yang bernama “Sultan Alam Bagagar Syah”.
Sultan Alam Bagagar Syah diangkat tidak lagi sebagai Raja Minangkabau, tetapi
sebagai “Regent Tanah Datar” yang digaji oleh pemerintah Belanda. Pangkatnya diturunkan
menjadi Regent (Bupati) Tanah Datar saja. (12, h.61). Kemudian Sultan Alam Bagagar Syah
dipindahkan oleh Belanda menjadi “Regent di Padang”.
Walaupun Sultan Alam Bagagarsyah hanya diangkat oleh pemerintah Belanda sebagai
Regent, tetapi rakyat Minangkabau masih menganggap beliau sebagai Raja Minangkabau yang
sah. Penghargaan dan penghormatan terhadap Sultan Alam Bagagar Syah masih tetap sebagai
seorang raja. Kemanapun beliau pergi selalu diiringi oleh pengawal sebanyak 50 orang, yang
terdiri dari Penghulu-penghulu yang memakai keris, opsir-opsir berbedil dan berpedang di
pinggang. Semua pengawal beliau bersenjata, sebagaimana layaknya pengawal seorang raja. (9,
h.8).
Meskipun Sultan Alam Bagagar Syah resminya hanya menjadi pegawai pemerintah
Belanda, tetapi bathinnya beliau adalah Raja Minangkabau yang diakui dan dicintai oleh
rakyatnya.
Pada masa pemerintahan Sultan Alam Bagagar Syah perang Padri sedang berkecamuk
di daerah Minangkabau. Sebagai seorang pemimpin rakyat Sultan Alam Bagagar Syah selalu
memikirkan bagaimana caranya untuk mengusir Belanda dari daerah Minangkabau, walaupun
Belanda cukup bersenjata. Persiapan menyeluruh harus dipersiapkan dengan matang, dan
disokong oleh seluruh rakyat dan pemimpin Minangkabau.
Pada waktu yang bersamaan di Jawa juga berkobar perang Diponegoro yang
berlangsung 1825-1830. Keunggulan Belanda sebenarnya dalam setiap peperangan adalah
kelihaiannya dalam mempergunakan taktik adu domba untuk memecah belah kekuatan lawan.
Begitulah sehingga Panglima Perang Diponegoro yang bernama Sentot Alibasyah
Prawirodirdjo bersedia bergabung dengan tentara Belanda asal tidak dilucuti dan prajuritnya
diterima secara lengkap. Pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot dengan pasukannya memasuki
kota Yogyakarta dengan disambut oleh tentara Belanda dengan kehormatan militer. Kemudian
tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap oleh Belanda dengan jalan
licik. Setelah perang Diponegoro berakhir, maka pada tahun 1831 Sentot dengan tentaranya
dikirim ke Minangkabau untuk disuruh berperang oleh Belanda (9, h.3).
Dengan kekuatan sebanyak 1800 orang yang diperlengkapi dengan senjata meriam dan
mortil, Sentot ditempatkan di pedalaman Minangkabau dengan tujuan utama untuk membantu
6
Belanda melawan Padri. (8, h.16). Tidak lama Sentot bertugas di Minangkabau, maka terjadilah
kontak antara Sentot dengan pemimpin-pemimpin Minangkabau. Sentot berhubungan secara
rahasia dengan pemuka-pemuka Padri bahkan menurut berita ia pernah bertemu dengan Tuanku
Imam Bonjol, disalah satu tempat yang tidak diberitahukan. Dengan Sultan Alam Bagagar
Syah, Sentot juga mengadakan pertemuan rahasia guna mengatur langkah untuk melawan
Belanda. Timbullah kesatuan tekad untuk menggabungkan tiga kekuatan untuk mengusir
Belanda dari Minangkabau, kekuatan itu adalah :
1). Kekuatan Padri dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol
2). Kekuatan Daulat di Pagaruyung dengan pimpinan Sultan Alam Bagagar Syah
3). Kekuatan pengikut Diponegoro di bawah pimpinan Sentot Alibasyah Prawirodirdjo.
Dengan demikian terkabullah sudah cita-cita Sultan Alam Bagagar Syah untuk
mempersatukan kekuatan melawan Belanda di daerah Minangkabau (9, h.4). Sultan Alam
Bagagar Syah segera membuat surat rahasia kepada seluruh pemimpin dan pemuka masyarakat
di Minangkabau antara lain Tuanku Imam dari Kamang dan Tuan Alam beserta semua
penghulu dari Luhak Nan Tigo, Raja Tigo Selo, Yang Dipertuan di Parit Batu, Tuanku Sambah
di Batang Sikilang dan Tuanku Air Batu.
Isi Surat itu adalah sebagai berikut :
“Kami mempermaklumkan kepada tuanku-tuanku dan semua penghulu, bahwa semua
yang telah diputuskan tempo hari harus kita lanjutkan dengan segenap kekuatan, supaya kita
tidak menanggung kerugian. Kita Raja Nan Sedaulat dan penghulu dari Sawah Duku anak
kemenakan dari daratan dan lautan inilah adat kita. Kini saya meminta kepada tiga saudara
saya, dan juga kepada semua penghulu, bahwa ninik mamak sekalian akan bersatu padu dan
jangan gagal, yaitu dalam menghalau kompeni. Pergunakanlah semua kepandaian Tuanku,
supaya kita tidak celaka. Engku-engku mulailah dan teruskan. Jika Tuanku mendapat salah satu
rintangan surutlah selangkah, tetapi janganlah melakukan gerakan yang keliru, sewaktu berjalan
ke laut atau ke darat. Bersatulah semua Raja dan Datuk, baik yang di Utara maupun yang di
Selatan, dan begitu pula rakyat di darat dan di laut. Inilah permintaan saya kepada saudara
semuanya. Adapun Bangsa Batak dan Melayu janganlah takluk kepada pemerintah Kompeni.
Baik sekali kita memerintah mereka, supaya mereka jangan berperang melawan kita. Kami
yang dari Tiga Luhak telah bersatu dengan Daulat Yang Dipertuan di Pagaruyung, dan
Alibasyah raja Jawa, yang telah kita muliakan, seperti Daulat Yang Dipertuan Pagaruyung, dan
ia telah berjanji akan mengusir Kompeni dari Pagaruyung hingga kita ada harapan akan hidup
bahagia. Inilah persetujuan kita dengan Alibasyah. Kompeni tak akan memerintah negeri kita
7
lagi melainkan Alibasyah dan Daulat Yang Dipertuan.” ditulis hari Ahad malam tanggal 18
Syawal 1246 (8, h.17).
Surat dari Sultan Alam Bagagar Syah sebagian telah sampai ke tangan pemimpin dan
pemuka-pemuka Minangkabau, untuk dilaksanakan. Pada permulaan tahun 1833 terjadilah
pemberontakan serentak di mana golongan adat dan golongan Padri bersatu untuk mengusir
Belanda (10, h.36). Sesuai dengan rencana pertama yang telah ditetapkan pada tanggal 11
Januari 1833 tengah malam serangan serentak dilancarkan pada Pos Belanda di Minangkabau
(13, h.138).
Peristiwa 11 Januari ini mempunyai arti yang penting dalam sejarah Minangkabau
dalam rangka menentang penjajahan Belanda. Dalam pada itu adanya persekongkolan antara
Sultan Alam Bagagar Syah, Sentot dan Padri telah mulai tercium oleh Belanda. Markas Besar
di Batavia telah mengetahui dari laporan, bahwa Sentot telah berkhianat kepada pemerintah
Belanda.
Akibatnya Sentot kemudian diasingkan ke Bengkahulu dan meninggal di tempat
pengasingan. Sentot bertugas di Minangkabau hanya 10 bulan (Juni 1832 – April 1833).
Sesudah Sentot diasingkan maka pemerintah Belanda mulai menggempur pengikut Sultan Alam
Bagagar Syah satu persatu.
Mula-mula diadakan penangkapan terhadap Tuanku Alam, yang juga dilakukan dengan
tipu muslihat oleh Mayor De Quay yang bermarkas di Biaro Bukittinggi. Kemudian pasukan
Tuanku Nan Cerdik yang bermarkas di Naras Pariaman juga digempur oleh tentara Belanda.
Sesudah pengikut setia Sultan Alam Bagagarsyah disingkirkan oleh pemerintah Belanda, maka
mereka mulai membuat rencana untuk menangkap Sultan Alam Bagagar Syah sendiri.
Penangkapan terhadap beliau bukanlah hal mudah bagi pemerintah Belanda. Oleh karena itu
mereka mencari waktu yang baik buat menangkap Baginda (9, h.8).
Pada tanggal 12 Mei 1833 Belanda telah menyusun rencana untuk menangkap “Yang
Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah” dengan mengadakan pertemuan di Batusangkar. Residen
Elout datang ke Batusangkar untuk menghadiri pertemuan itu. Sementara itu sepasukan tentara
Belanda telah dipersiapkan untuk melakukan penangkapan, disaat upacara selesai (8, h.16).
Yang Dipertuan hadir lengkap dengan pengawalnya sebanyak 50 orang yang memakai senjata
lengkap. Sesudah selesai semua persiapan, maka Residen Elout menyerahkan sehelai surat
kepada pengawal Sultan Alam Bagagar Syah untuk membacanya. Yang Dipertuan sudah tahu
bahwa surat itu adalah surat beliau sendiri yang ditujukan kepada pemimpin-pemimpin
8
Minangkabau. Sebagai kesatria beliau menyuruh membaca surat itu kepada pengawalnya dan
mengakui bahwa yang membuat surat itu adalah beliau sendiri.
Residen meminta agar Baginda menyerahkan kerisnya, sementara serdadu Belanda
melucuti senjata para pengawal Sultan. Sesudah para pengawal itu dilucuti senjatanya maka
mereka diizinkan pulang (6, h.9). Sesudah itu Sultan Alam Bagagar Syah langsung ditangkap
oleh pemerintah Belanda..
Sultan Alam Bagagar Syah dengan dikawal oleh satu detasemen serdadu Belanda
berkuda meninggalkan Batusangkar menuju Padang. Sampai di Padang langsung dimasukkan
ke dalam penjara, dan kemudian dipindahkan ke Batavia sebagai tawanan negara. Sesudah
Sultan diasingkan maka perlawanan rakyat di Minangkabau, semakin meningkat. Karena
perlawanan yang berlarut-larut, maka pemerintah Belanda kepayahan sehingga bulan
September 1833 Gubernur Jendral Van Den Bosch terpaksa datang ke Sumatera Barat. Van
Den Bosch mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai.
Tuanku Imam Bonjol bersedia berdamai dengan syarat-syarat :
1. Sultan Alam Bagagar Syah supaya dikembalikan ke Minangkabau dan hak-haknya
dipulihkan
2. Orang Minangkabau tidak bersedia beraja kepada Kompeni (Belanda).
Dengan demikian jelaslah bahwa Sultan Alam Bagagarsyah masih dicintai oleh rakyat
Minangkabau, seperti yang tergambar dari syarat Tuanku Imam Bonjol (9, h.10). Tuntutan itu
ditolak oleh Pemerintah Belanda, sehingga perang berkecamuk lagi. Perang Padri (perlawanan
rakyat Minangkabau) baru berakhir sesudah benteng Bonjol dapat direbut pada tanggal 16
Agustus 1837 (13, h.151). Dalam pada itu Sultan Alam Bagagar Syah akhirnya mangkat di
Batavia pada tanggal 12 Februari 1849 dan dimakamkan didaerah Mangga Dua (5, h.3)
Sumber-sumber Belanda tentang Sultan Alam Bagagar Syah juga menyebutkan :
1. Yang menurut penguasa-penguasa di Padang, adalah keturunan Raja-raja Minangkabau, dan
telah bersalah melakukan pengkhianatan besar terhadap pemerintah (1, h.1).
2. a. Ia selalu mengadakan hubungan dengan Sentot Alibasyah
b. Dia tidak perkenankan berhubungan dengan orang lain (1, h.3).
3. Tahanan yang berasal dari Sumatera Barat Yang Dipertuan dan Nan Cerdik membebaskan
mereka dari tahanan dan memberikan mereka tempat kediamam sementara (2, h.1).
4. Sedangkan kebanyakan perwira-perwira pasukan beranggapan bahwa Sultan Alam Bagagar
Syah adalah pencetus utama dari suatu pemberontakan umum dari rakyat Padang Darat
9
yang bakal dimulai dan sebahagian juga telah dijalankan melawan pemerintah orang-orang
Eropa disana (4, h.3).
5. Bahwa pada tanggal 12 Pebruari yang lalu, telah meninggal disini “Tahanan Negara” Sultan
Alam Bagagar Syah, juga dikenal sebagai Yang Dipertuan yang berasal dari Sumatera Barat
(5, h.3).
6. Surat permintaan tertanggal Padang 22 Mei 1872 dari Puti Siti Sarigumilan puteri dari
Tuanku Pagaruyung yang dibuang (Residensi Padang darat Gubernemen Sumatera Barat),
Sultan Alam Bagagar Syah (6, h.1).
7. Surat permintaan tertanggal Padang 11 Juli 1873 dari Puti Siti Sarigumilan dan puteri Puti
Siti Alam Perhimpunan, putera-puteri dari Tuanku Pagaruyung yang dibuang (Residensi
Padang darat Gubernemen Sumatera Barat), Sultan Alam Bagagar Syah (7, h.1).
Kesimpulan ;
Dari seluruh uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan :
1. Sultan Alam Bagagar Syah adalah Raja Pagaruyung Minangkabau yang terakhir yang
resminya berkedudukan sebagai Regent (Bupati) Tanah Datar dan Kemudian Padang.
2. Sultan Alam Bagagar Syah telah berhasil menghimpun 3 kekuatan yang ada di
Minangkabau ( Yang Dipertuan – Sentot Alibasyah – Padri ) untuk bersama mengusir
Belanda di Minangkabau. Kerja sama dengan Sentot menunjukkan telah adanya benih
Nasionalisme didalam dada Sultan Alam Bagagar Syah.
3. Surat Sultan Alam Bagagar Syah kepada pemuka-pemuka masyarakat Minangkabau
berhasil ditemukan pleh pemerintah Belanda. Akibatnya Sultan Alam Bagagar Syah
ditangkap dan dibuang oleh pemerintah Belanda ke Batavia dan wafat di Batavia 12
Februari 1849.
4. Sumber-sumber Belanda juga menyebutkan dengan jelas bahwa Sultan Alam Bagagar Syah
adalah musuh dari pemerintahan Belanda dan bersekongkol dengan Sentot Alibasyah.
5. Dengan bahan-bahan yang telah dikumpulkan nyatalah bahwa Sultan Alam Bagagar Syah
adalah Pahlawan bagi rakyat Minangkabau khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Daftar Sumber
1. Besluit : Batavia 3 Juni 1833. No 2255
1740
2. Besluit : Tanggal 10 Juni 1833 No.5
10
3. Komisaris General Van : Extract uit het Register der Besluiten Buitenzorg den
Nederlandsch Indie 20 Juli 1833
4. Resident Van batavia : Gesteld in Landen Van Den Resident Batavia.
Batavia den 24 Februari 1834
5. Resident Van Batavia : Batavia den 15 Februari 1849.
6. Gouvernor General Van : Extract uit het Register der Besluit Buitenzorg den
Nederlandsch Indie 20 September 1872
7. Gouvernor General Van : Extract uit het Register der Besluit Buitenzorg de2en
Nederlandsch Indie September 1873
( Semua Bahan diatas berasal dari Koleksi “Arsip Nasional Republik Indonesia” )
8. Amura Drs.H. : Raja Pagaruyung terakhir, Majalah kebudayaan
Minangkabau No. 1 Jakarta 1974
9. Hamka Prof. Dr. : Sultan Alam Bagagar Syah
Sultan Alam Minangkabau terakhir. Jakarta, 1974.
10. Kementerian Penerangan : Propinsi Sumatera Tengah
11. M.O. Perlindungan : Tuanku Rao. Tanjung pengharapan, Jakarta, 1974
12. Moh. Radjab. Drs. : Perang Padri. Balai Pustaka, Jakarta, 1964.
13. M.D. Mansoer Drs. Cs. : Sejarah Minangkabau. Bhratara, Jakarta, 1970
14. Sanusi Pane : Sejarah Indonesia Jilid I
Balai Pustaka, Jakarta, 1950.
15. Silsilah Ahli Waris dan Keturunan Daulat yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung.

Tidak ada komentar: