Senin, 11 Mei 2009

Hikmah Nan 4

AMBIL HIKMAH DARI NAN AMPEK

Tuah cilako nan talukih
Dicaliak jo mato batin
Diambiak ujuik jo paham
Sinan ka jaleh ma ananyo

SURUHAN JO LARANGAN

Ado ampek suruhan ampek tagah

Nan partamo,

Iduiklah bak rumpun aua
Usah dicontoh sifat tibarau
Nan kaduo Yang kedua
Tiru baringin di tangah padang
Jauahkan sifat bak kiambang
Nan katigo Yang ketiga
Simaklah anau di dalam rimbo
Pantangkan jadi bio-bio
Nan kaampek Yang keempat
Jadilah iduik sarupo paku
Jaan saroman jo binalu

Bahaso Nan Ampek


A. Dialektika Nan Empat Saling Berlawanan


I.Tahu di diri


1. Setiap manusia mempunyai nan empat jenis nafsu
2. Tahu pada empat jenis kebutuhan hidup manusia
3. Tahu di nan empat jenis kemauan (keinginan) manusia
4. Ketika berbicara kita sering menggunakan nan empat langgam kata (pilihlah langgam
kata yang sesuai untuk lawan bicara)
5. Seseorang sebaiknya dapat membedakan nan empat jenis kata yang diucapkannya
6. Dalam berbicara dengan orang lain kita sering menggunakan nan empat sifat berkata-kata
(pilihlah sifat kata yang terbaik)
7. Tahu di nan empat macam sifat bahan pembicaraan
8. Nan empat perilaku yang tidak boleh berlebihan karena akan menjauhkan seseorang dari sifat
obyektif
9. Nan empat penyebab rasa gelisah dalam kehidupan masyarakat moderen

II. Tahu di orang


1. Tahu di nan empat peran dan fungsi manusia menurut kodratnya
2. Tahu di nan empat macam ukuran akal manusia yang diidentikkan dengan panjang akar
tumbuhan
3. Nan empat klasifikasi sifat akal orang
4. Tahu di nan empat tipe temperamen orang
5. Nan empat jenis orang menurut kadar imannya
6. Nan empat macam pengenalan diri
7. Nan empat ragam orang
8. Nan empat jenis orang yang dikaitkan dengan tuah (pujian)
9. Tahu di nan empat golongan manusia saat menyikapi amar ma'ruf dan nahi munkar
10. Empat sikap karyawan menghadapi rekayasa ulang organisasi pada abad ke-21
11. Tahu pada empat macam kondisi masyarakat saat menyikapi "amar makruf, nahi munkar"

III. Tahu di alam


1. Tiga kali nan empat jenis kata yang mempunyai akibat sendiri-sendiri bila diucapkan
2. Nan empat sikap seorang muslim yang taat
3. Tahu di nan empat kiasan cara hidup
4. Kesalahan atau perselisihan dapat diselesaikan dengan salah satu dari nan empat cara
5. Tahu di nan empat penjuru mata angin
6. Tahu di nan empat jenis iklim
7. Tahu di nan empat macam negara di dunia berdasarkan kekayaan dan sumber daya alamnya
8. Tahu di nan empattanda berhitung
9. Nan empat pembagian waktu berdasarkan pemanfaatannya oleh manusia
10. Nan empat kali dua, pokok-pokok pemikiran Prof. Yuwono Sudarsono untuk
mengembangkan kemampuan/kecakapan dalam bidang pendidikan dan kebudayaan
11. Ketika berdagang, kita memilih salah satu dari empat cara menjual
12. Nan empat faktor yang harus dianalisa satu persatu pada saat membuat rencana kerja
organisasi (SWOT)

IV. Tahu di Tuhan


1. Sadar di nan empat proses yang dijalani manusia sebagai makhluk Allah
2. Tahu di nan empat macam nasib manusia akibat perbuatannya.
3. Tahu di nan empat cara mengatur waktu penting dan darurat.
B. Dialektika Nan Empat Saling Melengkapi
I. Tahu di diri
1. Akal digunakan untuk memelihara nan empat
2. Seseorang sebaiknya dapat mengetahui nan empat martabat kata yang diucapkannya
3. Tahu pada nan empat tanda/ciri sehat secara tradisional
4. Nan empat imam fisik yang menjadi ikutan diri
5. Nan empat sikap diri sebelum melakukan sesuatu
6.Nan empat tolok ukur bersih menurut ajaran Islam
7. Tahu di nan empat unsur tubuh manusia
8. Nan empat perilaku yang dapat membuat akal rusak atau hilang sama sekali
9. Empat tali pengikat perkawinan (khotbah nikah)
II. Tahu di orang
1. Tahu di nan empat ras induk
2. Tahu di nan empat penyemarak kampung (pemukiman)
3. Tahu di nan empat khalifah sahabat Rasulullah
4. Nan empat sifat rasul yang harus ditiru
5. Tahu pada nan Empat faktor yang menentukan perkembangan karir individu di dalam
organisasi
6. Tahu pada dua kali Empat tuah dokter
7. Nan Empat tanda seorang ilmuwan
8. Nan Empat ciri orang kuat
9. Untuk melaksanakan syariat agama, para penganut Islam Suni agar mengikuti salah satu dari
mazhab imam nan Empat
10. Nan Empat klasifikasi orang yang sebenarnya orang
11. Empat macam petunjuk yang harus diikuti oleh orang-orang yang berada di jalan umum/
keramaian
12. Nan Empat pertimbangan untuk memilih pasangan hidup menurut ajaran Islam
13. Nan Empat sikap dalam pergaulan

III. Tahu di Alam


1. Tahu di nan Empat jenis alam (menurut orang Sufi)
2. Tahu di nan Empat jenis makhluk
3. Tahu pada Empat faktor yang melingkupi kehidupan manusia yang sangat mempengaruhi
kelestarian serta kwalitas hidup
4. Setiap manusia sebaiknya menguasai nan Empat jenis bahasa
5. Tahu pada Empat D yang harus dihindari institusi pelayanan kesehatan
6. Menurut adat yang teradat, orang boleh menggadaikan barang (berhutang) hanya untuk
membiayai nan Empat kegiatan
7. Menurut UU No. 23 tahun 1992 "sehat" itu harus memenuhi Empat hal
8. Tahu pada nan Empat faktor yang menjadi penghambat berpikir
9. Tahu pada nan Empat bentuk (fase) materi yang ada di alam terkembang
10.Tahu menilai mutu berlian dengan ukuran Empat C
11. Tahu pada nan Empat sifat diri dari Johari Window
12. Tahu pada Empat tanda penyakit infeksi
13. Empat persyaratan untuk rumah yang ideal dan sehat
14. Tahu pada nan Empat F jalur penyebab penyakit diare
15. Dua kali Empat cara hidup yang alami untuk sehat
16. Dua kali Empat tanda-tanda jiwa sehat meurut WHO
17. Tahu pada nan Empat macam zat yang dimakan dan dapat menimbulkan penyakit apabila
berlebihan
18. Berdasarkan manfaatnya untuk tubuh, zat gizi dibagi Empat kelompok
19. Tahu pada Empat tujuan olah raga untuk kesehatan
20. Tahu pada Empat tingkatan rasa cemas/gangguan perasaan (anxiety) pada manusia
21. Perumpamaan "waktu nan Empat " perlu diisi dengan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan
peruntukannya
22. Nan Empat yang melekat pada pemimpin
23. Nan Empat sifat yang harus dipunyai seorang pemimpin
24. Tahu di nan Empat proses manajemen (POAC)
25. Tahu di nan Empat kewajiban terhadap orang lain (menurut Sunan Drajat, Wali Songo)
26. Nan Empat sifat lebah yang perlu ditiru manusia
27. Nan Empat sendi (syarat) tegaknya negara
28. Nan Empat jenis hak asasi manusia
29. Tahu di nan Empat klasifikasi ilmu
30. Bagan sistematika ilmu nan Empat
31. Mengolah bilangan ilmu yang wajib di dalam nan Empat
32. Tahu pada 2 x Empat nama Satuan Takaran untuk memeriksa alam terkembang
33. Tahu di nan Empat jenis fi'il dalam ilmu Nahwu dan Sharaf
34. Tahu di nan Empat syarat untuk ikut globalisasi
35. Tahu di nan Empat faktor penentu derajat kesehatan
36. Tahu di nan Empat golongan darah
37. Bersyukur terhadap nikmat Allah sesuai dengan nan Empat persyaratan
38. Tahu di nan Empat standar bidang ekonomi dalam kehidupan manusia
39. Tahu di nan Empat sendi ekonomi Islam (muamalat Islam)
40. Nan Empat kriteria untuk paradigma orang yang sebenarnya orang
41. Untuk melaksanakan patok duga (takah urang), dalam TQM ada Empat faktor yang harus
dilaksanakan
42. Tahu di nan Empat jenis petunjuk (hidayah) Allah kepada makhlukNya
43. Tahu pada empat ciri orang yang bangsaiet
IV. Tahu di Tuhan
1. Sepanjang usia manusia benar-benar merugi kecuali melaksanakan nan Empat petunjuk Allah
(Alquran Surat Al-Ashr)
2. Tahu pada Empat silabus/tingkatan/maqom ilmu keagamaan menurut ahli tasawuf
3. Merasakan nan Empat kenikmatan hidup
4. Nan Empat dimensi kesabaran dalam kehidupan manusia
5. Tahu di nan Empat tanda keesaan Allah (menurut terjemahan Surat Al-Ikhlas)
6. Nan Empat persyaratan manusia agar menjadi takwa (menurut Imam Khusairi)
7. Nan Empat cara yang mudah untuk menuju surga
8. Nan Empat cara Lukman dalam mendidik anak (Alquran: Surat Lukman)
9. Nan Empat macam cara berbakti kepada orang tua yang telah wafat (menurut hadist nabi
riwayat Imam Ahmad)
10. Dua kali nan Empat ciri seorang muslim
11. Mengetahui nan Empat jenis penghayatan Islam secara sepotong-potong oleh penganutnya
12. Tahu di nan Empat macam orang kafir
13. Sebagai seorang muslim kita harus memiliki Empat kewajiban terhadap kitab Al-quran
14. Orang yang sebenarnya orang, harus mempunyai nan Empat "paling"
15. Tahu pada Empat kewajiban terhadap jenazah
16. Bila seseorang membaca Alquran, dia mendapatkan nan Empat hal yang mempengaruhi hati
dan jiwanya
17. Tahu arti dua kali Empat bacaan doa waktu duduk di antara dua sujud dalam sholat
18. Tahu pada empat syarat menunaikan ibadah haji
19. Tahu pada empat tanda mukmin yang beruntung

C. Dialektika Nan Empat Sebab-Akibat
I. Tahu di Diri


1. Untuk menjadi manusia seutuhnya, atau "orang sebenarnya orang", seseorang harus
tahu di nan empat
2. Tahu di nan empat tanggung jawab
3. Sejak dilahirkan sampai dewasa, manusia menjalani nan empat periode perilaku
4. Tahu di nan empat jenis tingkatan akal
5. Nan empat tujuan perkawinan manusia
6. Menurut hadist, di Padang Mahsyar ada pertanyaan untuk empat nikmat yang telah diterima
manusia.
7. Tahu di nan empat ucapan janji 4 H Club USA
8. Tahu sifat nan empat unsur pembentuk badan kasar manusia
II. Tahu di orang
1. Ucapan tiga kali nan empat jenis orang, yang mempunyai tuah-akibat masing- masing
2. Tahu di nan empat kelompok masyarakat yang mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari
3. Nan empat jenis prestasi serta persyaratannya
III. Tahu di alam
1. Setiap warga negara seharusnya tahu di nan empat tujuan negara Republik Indonesia
2. Tahu di nan empat adat
3.Empat macam orientasi organisasi
4. Tahu di nan Empat empat sifat-sifat pekerjaan
5. Tahu pada Empat unsur yang membentuk "pengetahuan" seseorang berdasar kan ilmu
psikologi yang bersumber dari Barat
6. Tahu di nan Empat macam gelombang otak
7. Tahu di nan Empat pembagian hukum Islam (fiqih)
IV. Tahu di Tuhan
1. Nan Empat cara pengembaraan manusia menuju Tuhannya
2. Tahu di nan Empat urutan pedoman bagi seorang Muslim untuk berbuat sesuatu
3. Tahu pada Empat urutan orang, yang harus dihormati di dunia
4. Menurut Alquran, realisasi ketakutan seseorang kepada Allah dapat dianti- sipasi dengan nan
Empat perbuatan secara berurutan
5. Tahu di nan Empat kelompok urutan sasaran pemberian nafkah
6. Tahu pada Empat macam sifat pemberian rejeki manusia oleh Allah SWT
7. Menurut hadis, seseorang akan merasa bahagia apabila memiliki Empat persyaratan

Kamis, 07 Mei 2009

Tungku Tigo Sajarangan.

TIGO TUNGKU BAJARANGAN
Oleh:
Wisran Hadi
Bajarangan maksudnya dijarangkan (dijauhkan, dijarakan,) jarak dari setiap
tungku diletakkan. Jadi, arti ungkapan dari judul ini adalah; ketiga tungku saling
diperjauh letaknya, sesuai dengan apa yang telah dicanangkan Gubernur Sumbar, tigo
tungku itu masing-masingnya diletakkan di Padang (kalau Masjid Agung Sumbar sempat
didirikan), yang satu lagi di Bukittinggi (Perpustakaan Bung Hatta yang sudah
diresmikan) dan satu lagi di Pagaruyung (Istano Basa yang akan didirikan kembali).
Tigo tungku sajarangan (bukan bajarangan, seperti judul di atas) atau dikenal
pula dengan ungkapan tigo tali sapilin adalah tiga komunitas yang ada dalam masyarakat
Minangkabau; alim ulama, ninik mamak dan cadiak pandai. Tigo tungku sajarangan itu
bukanlah bagian dari undang-undang adat atau aturan adat, tetapi hanya semacam
konsensus saja, kesepakatan antara para penghulu, alim ulama dan cadiak pandai agar
selalu tetap bersatu. Sebab, kalau dikaji lebih dalam, dalam kelembagaan kepenghuluan
secara adat sudah dipatrikan dan dikenal dengan sebutan urang nan ampek jinih yang
terdiri dari; penghulu, manti, malin dan dubalang. Artinya, dalam institusi kepenghuluan
itu sudah terangkum kesemua unsur; ninik mamak (penghulu), malin (alim ulama) dan
manti (cadiak pandai) dan urang mudo atau paga nagari (dubalang). Jadi, dalam institusi
kepenghuluan di dalam sebuah kaum, tidak ada lagi istilah tigo tali sapilin atau tigo
tungku sajarangan. Jadi, jika kita mau mengikuti patron adat yang lama, tigo tungku
sajarangan tidak dapat dimasukkan ke dalam format hukum adat. Tigo tungku sajarangan
tak lebih dari sebuah retorika politik tradisional orang Minang, sebagaimana pula halnya
dengan adagium Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.
Tahun beralih, musim berganti. Tigo tungku sajarangan kemudian dipopulerkan
sebagai bagian dari adat Minangkabau. Dan penyimpangan itu diamini pula oleh mereka
yang punya kepentingan-kepentingan tertentu. Lalu, dalam usaha Meminangkabaukan
Sumatera Barat seperti yang dilakukan saat ini, ketiga institusi ini dianggap sebagai
institusi penyangga kehidupan sosial masyarakat Sumatera Barat; ninik mamak (adat),
alim ulama (agama) dan cadiak pandai (kekuasaan). Dalam konteks inilah kita mencoba
mencermatinya.
Gubernur Sumatera Barat dalam beberapa kesempatan telah mencanangkan
bahwa tigo tungku sajarangan itu kini adalah berpunca pada tiga kota; Padang sebagai
representasi Alim Ulama dengan akan didirikannya sebuah masjid megah dan agung,
Pagaruyung sebagai representasi Ninik Mamak dengan akan didirikannya kembali Istano
Basa yang terbakar 27 Februari lalu, dan Bukittinggi sebagai representasi dari Cadiak
Pandai dengan berdirinya Perpustakaan Bung Hatta di sana.
Ketiga-tiga kota itu dijadikan “simbol” atau ikon dari tigo tungku sarangan.
Pemda Sumatera Barat beserta tokoh-tokoh masyarakatnya sudah berniat untuk;
mendirikan Masjid Agung di Padang dan Istano Basa di Pagaruyung. Namun, tidak ada
kerja atau usaha baik yang tidak ada ganjalannya.
Marilah kita simak terhadap salah satu ikon dari unsur Alim Ulama. Kota Padang
dengan Masjid Agungnya. Kita akan terangguk-angguk heran setelah menyimak proses
2
akan didirikannya Masjid Agung itu. Dari berita pers yang kita ikuti, menurut rencana
Gubernur akan mensegerakan berdirinya Masjid Agung Sumatera Barat itu, bahkan
sempat kabar beredar akan diletakkan batu pertama sebelum tahun 2007. Ternyata sudah
sampai bulan Maret 2007 belum ada tanda-tanda ke arah itu. Konon, beberapa orang
anggota DPRD Sumatera Barat keberatan dengan design masjid Agung itu karena tidak
ada kubah. Karena tidak ada kubah mengakibatkan proses pendirian Masjid Agung
Sumatera Barat itu tersendat-sendat kalaulah tidak mau disebutkan sebagai penolakan
dengan tameng tak ada kubah. Aneh memang, ada anggota DPRD Sumatera Barat yang
ngotot agar masjid itu harus punya kubah. Di surau ma baliau mangaji dulu? Mereka
yang sangat fanatik dengan kubah tapi tidak dengan masjidnya.
Jika cara seperti ini tetap dipertahankan, masyarakat akan menilai, bahwa kini
semakin tajam perbedaan visi antara pemerintah dengan dewan perwakilan rakyatnya.
Kita tetap berharap, mendirikan masjid adalah ibadah dan janganlah segala sesuatunya
dijadikan komoditi politik untuk saling menjegal.
Persoalan Padang akan jadi ikon Alim Ulama dalam versi Gubernur tersebut juga
mempunyai banyak masalah yang harus diselesaikan oleh Pemkonya, khusus
Walikotanya. Berdirinya AW Café di mulut muara sungai berdiri diluar prosedur
perizinan yang lazim (namun, jika hal itu terjadi pada rakyat kota Padang, mendirikan
bangunan tanpa izin pasti Satpol PP akan segera membongkar bangunan itu). Jamaah
Masjid Taqwa yang sebagian besar adalah pedagang Pasar Raya sudah lama
kalimpasiangan dengan bisingnya suara angkot (penetapan angkot di sana adalah juga
berdasarkan keputusan Pemko) dan akan ditambah dengan kebisingan bus yang sebentar
lagi akan masuk kota pada titik-titik tertentu, (tapi lalu lintas di depan Plasa Andalas
ditata begitu mulus).
Narkoba yang tidak kunjung tuntas pembasmiannya, menurut khabar terakhir, Padang
adalah kota peringkat ke lima di Indonesia dalam kasus narkoba. Semua itu adalah batubatu
pengganjal untuk Padang dapat dijadikan ikon Alim Ulama. Apakah Gubernur
menganggap dengan sebuah Masjid Agung saja, Padang dapat dijadikan ikon Alim
Ulama? Dan apakah Alim Ulama sudah diberikan peran yang sesuai dalam pembinaan
kota Padang yang akan dijadikan ikon itu?
Akan halnya kota Bukittinggi dapat dijadikan ikon, juga mempunyai
permasalahan yang lebih urgen. Berdirinya sebuah perpustakaan tanpa didukung
perguruan-perguruan tinggi yang akan memanfaatkan perpustakaan itu, apakah
perpustakaan itu nanti tidak menjadi musium buku saja? Atau, apakah perpustakaan itu
hanya untuk lagak kepada orang luar saja, sementara pembaca buku diperpustakaan itu
hanya beberapa orang yang umumnya pelajar SLTA? Bukittinggi yang dijadikan ikon
cadiak pandai tanpa ada tradisi keilmuan di sana, sama dengan Padang yang banyak
maksiat akan dijadikan ikon Alim Ulama. Begitu juga dengan Pagaruyung sebagai ikon
Ninik Mamak juga punya banyak persoalan yang harus diselesaikan, misalnya apakah
LKAAM yang direncanakan akan berkantor di sana benar-benar represtatif, atau
organisasi itu sesuai dengan aturan adat Minangkabau itu sebagai sebuah lembaga para
penghulu?
Jika basis budaya Minang ini dulu diakui berpunca pada luhak nan tigo (Tanah
Data, Agam dan Limopuluah Koto), dengan adagium adat; adat manurun, syara’
mandaki – maksudnya perkembangan adat itu adalah dari luhak nan tigo sedangkan
perkembangan syara’ dari pantai (barat dan timur) lalu kini yang akan dijadikan punca
3
budayanya adalah Padang, Bukittinggi dan Pagaruyung. Nah, bagaimana dengan
Payokumbuah sebagai Luhak Nan Bungsu serta Kubuang Tigo Baleh. Cukupkah orangorang
dikedua daerah basis budaya itu sebagai penjaja batiah dan penjual markisah saja?
Oleh karena itu, Pemko Padang apakah benar-benar sudah siap untuk menjadikan
Padang ikon Alim Ulama hanya dengan didirikannya sebuah masjid agung saja?
Sementara zakat masyarakat kota Padang dikumpulkan dengan gigihnya, jamaah Masjid
Taqwanya tetap disiksa dengan segala kebisingan kotanya.
Apa yang diinginkan Gubernur Sumatera Barat sudah sangat jelas, tetapi aparat
yang di bawahnya masih bersikap abu-abu, termasuk juga beberapa anggota dewannya.
Gubernur mau tigo tungku sajarangan, sedang aparat dibawahnya menjalankan tigo
tungku bajarangan.**

Pagaruyuang7

YANG DIPERTUAN GADIS PUTI RENO SUMPU
Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung terakhir
Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu dikenal juga dengan Dipertuan Gadih
Bungkuak karena diusia tuanya bungkuk dan Yang Dipertuan Gadih Berbulu Lidah karena
lidahnya berbulu adalah seorang bangsawan dari dinasti Kerajaan Pagaruyung yang dilahirkan
pada tahun 1816 dinegeri yang bernama Sumpur Kudus dari ayahnya yang bernama Sultan
Abdul Jalil gelar Yang Dipertuan Sembahyang III dengan permaisuri yang bernama Yang
Dipertuan Gadis Puti Reno Sori atau biasa juga dipanggil Yang Dipertuan Gadis Halus.
Puti ini diberi nama Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu karena ia dilahirkan
ditempat pengungsian keluarga raja-raja Pagaruyung di Sumpur Kudus. Setelah terjadi tragedi
berdarah dengan dilakukannya pembunuhan dan perburuan besar-besaran yang dilakukan
terhadap kerabat Diraja Pagaruyung oleh tentara Padri dibawah pimpinan Tuanku Lelo.
Sultan Abdul Jalil gelar Yang Dipertuan Sembahynag III kawin dengan permaisurinya Yang
Dipertuan Gadih Puti Reno Sori adalah perkawinan dalam lingkungan keluarga dekat karena
Sultan Abdul Jalill gelar Yang Dipertuan Sembahyang III adalah kemenakan dari ayah Yang
Dipertuan Gadih Puti Reno Sori yaitu Yang Dipertuan Patah. Sedangkan Yang Dipertuan
Gadih Puti Reno Sori adalah adik kandung dari Sultan Alam Bagagarsyah. Sultan Abdul Jalil
Yang Dipertuan Sembahyang III adalah pengganti Raja Alam Minangkabau Yang Dipertuan
Sultan Alam Bagagarsyah; setelah Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap dan
diasingkan ke betawi pada tahun 1833 dengan tuduhan melakukan pemberontakan dan
pengkhianatan terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Sebelum menduduki tahta Raja Alam
Pagaruyung Sultan Abdul jalil Yang Dipertuan Sembahyang III telah menjadi Raja Ibadat di
Sumpur Kudus dan juga Raja Adat di Buo. Dengan demikian berarti Sultan Abdul jalil Yang
Dipertuan Sembahyang III pada waktu menduduki tahta Raja Alam Pagaruyung sekaligus
juga menjadi Raja Ibadat di Sumpur Kudus dan Raja Adat di Buo. Hal ini disebabkan pada
saat itu dialah satu-satunya kerabat Diraja yang telah dewasa. Sultan Abdul Jalil Yang
Dipertuan Sembahyang III beserta permaisurinya Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sori serta
satu-satunya putri mahkota yang bernama Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu terpaksa
memindahkan pusat pemerintahan sementara dari Sumpur Kudus ke Muara Lembu Kuantan
Singingi. Setelah didesak terus oleh pasukan Belanda yang berpusat di Batusangkar dan di
Buo. Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang III kemudian mangkat dalam
pengungsiannya dan dimakamkan di pinggir sungai Batang Kuantan di nagari Cerenti.
Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu setelah menginjak dewasa dinobatkan
sebagai Raja Alam Pagaruyung menggantikan almarhum ayahnya Sultan Abdul Jalil Yang
Dipertuan Sembahyang III dan masih bertahta dipengungsiannya di Muara Lembu Kuantan
Singingi. Tidak lama kemudian Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu menikah dengan
Tuanku Ismail gelar Yang Dipertuan Gunung Hijau seorang raja dari kerajaan Gunung
Sahilan Darussalam. Dari perkawinan ini lahirlah seorang anak perempuan yang bernama Puti
Reno Sultan Abdul Majid yaitu nama yang sudah disediakan jauh-jauh hari sebelumnya
karena mengharapkan seorang anak laki-laki. Pada tahun 1869 Basa Ampek Balai serta
Niniak Mamak Nan Batujuah dari Pagaruyung dengan persetujuan residen Belanda di Padang
menjemput dan mendaulat yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu untuk kembali ke
Pagaruyung. Dalam perjalanan rombongan Basa Ampek Balai dan Niniak Mamak Nan
Tujuah dari Pagaruyung terjadi pengkhianatan yang dilakukan seorangbernama Umar Atuak
Kaciak dengan maksud menggagalkan upaya menjemput atau mengembalikan Yang
Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu ke Pagaruyung. Pengkhianat tersebut dibunuh oleh oleh
Datuak Bijayo dan Datuak Rajo Aceh. Setelah kembali ke Pagaruyung Yang Dipertuan Gadih
Puti Reno Sumpu membangun kembali istananya di Balai Janggo di bekas Istana Silindunag
Bulan yang dibumihanguskan oleh pasukan Padri pada tahun 1821. Untuk menunjang
kehidupan keluarga Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu Belanda memberi tunjangan
Onderstand. Disebabkan suaminya Sultan Ismail Yang Dipertuan Gunung Hijau, Raja
kerajaan Gunung Sahilan tidak dapat lama-lama meninggalkan kerajaannya dan setelah
beberapa lama mendampingi istrinya akhirnya ia kembali ke Gunung Sahilan dan mereka
bercerai. Sebagai gantinya Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu kemudian menikah
dengan perdana Mentrinya yaitu Sultan Mangun gelar Datuak Bandaro Putiah Tuanku
Penitahan Sungai Tarab. Sultan Mangun adalah anak dari Daulat Yang Dipertuan Raja Alam
Pagaruyung Sultan Alam Bagagarsyah (mamak kanduang dari Yang Dipertuan Gadih Puti
Reno Sumpu). Dan melahirkan anak yang bernama Puti Reno Saiyah gelar Yang Dipertuan
Gadih Mudo. Setelah dewasa Puti Reno Saiyah Yang Dipertuan Gadih Mudo menikah dengan
Sutan Badrun Syah Penghulu kepala Nagari Sumaniak. Sutan badrun Syah ini anak tertua dari
Sultan Abdul Hadis Makhudum Syah Sumaniak sedangkan Sultan Abdul Hadis ini anak dari
Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagarsyah, dari perkawinan inilah lahir 4 (empat) orang anak
Yaitu :
1. Puti Reno Aminah Gelar Yang Dipertuan Gadih Hitam
2. Puti Reno Halimah Gelar Yang Dipertuan Gadih Kuniang
3. Puti Reno Fatimah Gelar Yang Dipertuan gadih Ketek
4. Sultan Ibrahim Gelar Yang Dipertuan Tuanku Ketek
Sedangkan kakaknya Puti Reno Sultan Abdul Majid tidak menikah sampai akhir hayatnya.
Dalam kiprahnya setelah kembali ke Pagaruyung ada beberapa keberhasilan
yang patut dicatat dari yang Dipertuan gadih Puti Reno Sumpu :
1. Secara berangsur-angsur beliau menata kembali susunan pemerintahan adat,
setelah diporak-porandakan oleh para pasukan Padri dan Belanda
2. Menata kembali tata hubungan Pagaruyung dengan raja-raja dari Sapiah Balahan,
Kuduang Karatan dan dengan Kapak Radai, Timbang Pacahan dari kerajaan
Pagaruyung.
3. Atas usul beliau Belanda membangun jalan tembus dari Batusangkar ke Lintau,
Batusangkar ke baso dan jalan Lingkar Pagaruyung dari Batusangkar ke
Sawahlunto dan Batusangkar ke Sitangkai.
4. Atas jaimnan pribadinya membebaskan datuk-datuk di Pagaruyung dan Padang
Lua III Koto yang memimpin perlawanan terhadap Belanda guna menentang
perlakuan perlakuan Blasting (perpajakan) yang memberatkan rakyat.
Dari keempat cucu Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu inilah keturunan pewaris
Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung yang ada sekarang.
Yang Dipertuan Gadih Reno Sumpu akhirnya mangkat pada tahun 1912 pada usianya yang
ke 96 tahun.

Pagaruyuang6

SULTAN ABDUL JALIL
YANG DIPERTUAN SEMBAHYANG
Sultan Abdul Jalil Yag Dipertuan Sembahyang III pada usia yang sangat muda tahun
1821 telah dinobatkan sebagai Raja Ibadat di Sumpur Kudus. Tak lama kemudian pada tahun
1825 duapun dinobatkan sebagai Raja Adat di Buo dan jabatan raja ibadat tetap dipangkunya.
Pada tahun 1833 Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang dikawinkan dengan Yang
Dipertuan Gadih Puti Reno Sori dengan status permaisuri dan melahirkan seorang anak yang
bernama Puti Reno sumpu yang lahir pada tahun 1834. Setelah Belanda menangkap dan
mengasingkan Sultan Alam Bagagarsyah Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung pada tahun
1933, secara otomatis Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan sembahyang memegang kekuasaan
Raja Alam Pagaruyung. Dengan Demikian Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang
adalah orang pertama dari kerabat Diraja Pagaruyung yang menduduki 3 tahta dari Raja Nan
Tigo Selo.
Pada tahun 1840 Belanda mengajak Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang
untuk berunding di Limo Kaum Batusangkar, dalam perundingan itu Belanda mengusulkan
agar Sultan Abdul Jalil kembali bertahta di Pagaruyung dan akan dibangun istana yang megah
dan diberi tunjangan sebesar 2.000 gulden tiap bulannya. Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan
Sembahyang mengajukan syarat, dia baru mau berunding/membicarakan hal tersebut setelah
kakak sepupunya dikemlaikan ke Pagaruyung. Belanda secara tegas menolak persyaratan
tersebut dan akhirnya perundingan itu bubar tanpa hasil sebelum Sultan Abdul Jalil Yang
Dipertuan Sembahyang III kembali ke tempat pengungsiannya di Sumpur Kudus.
Beliau kembali didaulat oleh Basa Ampek Balai dan Datuak Bandaro Kuniang Limo
Kaum untuk mempertimbangkan tawaran Belanda tersebut. Tapi secara tegas beliau
menjawab dengan ucapan “ Denai indak akan manjua Ranah Minang ko untuak mandape’an
kasanangan duniawi apo lai mengorbankan rakyat, memang gadang tunjangan 2.000 gulden
tio’ bulannyo yang diagiah dek Belando tapi katahuilah akan jauah balipek gando yang
dipunguik dek balando dari rakyat, oleh sebab itu bialah denai malanjui’an palawananko
terhadap Balando dari Sumpur Kudus “. Sebagai sikap tegas Sultan Abdul jalil Yang
Dipertuan Sembahyang III tersebut maka Belanda mendirikan benteng dan pusat perlawanan
di Buo, dari situlah Belanda secara sistematis baik melalui serangan-serangan bersenjata
maupun politik adu domba menekan perlawanan Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan
Sembahyang III dari Sumpur Kudus.
Akibat tekanan terus menerus dari Belanda akhirnya Sultan Abdul jalil Yang dipertuan
Sembahyang III memindahkan pusat pemerintahan di pengungsian ke Muara Lembu Kuantan
Singingi. Ke Muara Lembu inilah Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang III
menghindar.
Pada tahun 1869 beliau berangkat menuju Singapura guna meneruskan perjalanan ke
tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Akan tetapi dalam perjalanannya terseebut mengilir
Batang Kuantan sesampainya di negeri Cerenti beliau mengalami sakit yang akhirnya beliau
mangkat dan dimakamkan di negeri Cerenti. Disamping mempunyai permaisuri beliau juga
mempunyai tiga orang istri lainnya yaitu Ociek Cute dari nagari Cubadak Limo Kaum
melahirkan seorang putri bernama Ociek Puti Salasai. Istri lainnya adalah Ociek Puti Fatimah
Tanjuang Barulak dan Ociek Lintau di tepi Selo Lintau.

Pagaruyuang5

Ahli Waris dan Keturunan
DAULAT YANG DIPERTUAN
SULTAN ALAM BAGAGAR SYAH
Raja Alam Pagaruyung
Berdasarkan Silsilah Ahli Waris Daulat yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung,
Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah yang dikenal juga dengan
panggilan Yang Dipertuan Hitam mempunyai empat orang saudara; Puti Reno Sori, Tuan
Gadih Tembong, Tuan Bujang Nan Bakundi dan Yang Dipertuan Batuhampar, hasil
perkawinan dari Daulat yang Dipertuan Sultan Alam Muningsyah (II) yang juga dikenal
dengan kebesarannya Sultan Abdul Fatah Sultan Abdul Jalil (I) dengan Puti Reno Janji Tuan
Gadih Pagaruyung XI.
Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah menikah pertama kali
dengan Siti Badi’ah dari Padang mempunyai empat orang putera yaitu: Sutan Mangun Tuah,
Puti Siti Hella Perhimpunan, Sutan Oyong (Sutan Bagalib Alam) dan Puti Sari Gumilan.
Dengan isteri keduanya Puti Lenggogeni (kemenakan Tuan Panitahan Sungai Tarab)
mempunyai satu orang putera yaitu Sutan Mangun (yang kemudian menjadi Tuan Panitahan
SungaiTarab salah seorang dari Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung).Sutan Mangun
menikah dengan Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII (anak Puti Reno Sori
Tuan Gadih Pagaruyung XII dan kemenakan kandung dari Sultan Alam Bagagarsyah).
Dengan isteri ketiganya Tuan Gadih Saruaso (kemenakan Indomo Saruaso, salah
seorang Basa Ampek Balai Kerajaan Pagaruyung) mempunyai putera satu orang: Sutan
Simawang Saruaso (yang kemudian menjadi Indomo Saruaso).
Dengan isteri keempatnya Tuan Gadih Gapuak (kemenakan Tuan Makhudum
Sumanik) mempunyai putera dua orang yaitu Sutan Abdul Hadis (yang kemudian menjadi
Tuan Makhudum Sumanik salah seorang Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung) dan
Puti Mariam. Sutan Abdul Hadis mempunyai delapan orang putera yaitu: Sutan Badrunsyah,
Puti Lumuik, Puti Cayo Lauik, Sutan Palangai, Sutan Buyung Hitam, Sutan Karadesa, Sutan
M.Suid dan Sutan Abdulah. Puti Mariam mempunyai dua orang putera : Sutan Muhammad
Yakub dan Sutan Muhammad Yafas (kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik)
Adik perempuan dari Daulat Sultan Alam Bagagarsyah yaitu Puti Reno Sori yang
kemudian dinobatkan menjadi Tuan Gadih Pagaruyung XII menikah dengan saudara
sepupunya Daulat Yang Dipertuan Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan
Sembahyang II Raja Adat Pagaruyung, mempunyai seorang puteri yaitu Puti Reno Sumpu
Tuan Gadih Pagaruyung XIII. Puti Reno Sumpu dengan suami pertamanya Sutan Ismail Raja
2
Gunuang Sahilan mempunyai seorang puteri: Puti Sutan Abdul Majid. Sedangkan dengan
suami keduanya: Sutan Mangun Tuan Panitahan Sungai Tarab (putera dari Sultan Alam
Bagagarsyah) mempunyai seorang puteri: Puti Reno Saiyah Tuan Gadih Mudo (Tuan Gadih
ke XIV). Puti Reno Saiyah ini menikah dengan Sutan Badrunsyah Penghulu Kepala Nagari
Sumanik (putera dari Sutan Abdul Hadis dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah)
mempunyai putera empat orang yaitu: Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam Tuan Gadih Ke
XV, Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang, Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek dan
Sultan Ibrahim Tuanku Ketek.
Puti Reno Aminah dengan suami pertamanya Datuk Rangkayo Basa, Penghulu
Kepala Nagari Tanjung Sungayang mempunyai seorang puteri: Puti Reno Dismah Tuan
Gadih Gadang (Tuan Gadih Pagaruyung XVI) dan dengan suami keduanya Datuk Rangkayo
Tangah dari Bukit Gombak mempunyai putera satu orang: Sutan Usman Tuanku Tuo.
Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang menikah dengan Sutan Muhammad Thaib Datuk
Penghulu Besar (ibunya Puti Siti Marad adalah cucu dari Sutan Abdul Hadis dan cicit dari
Sultan Alam Bagagarsyah, sedangkan ayahnya Sutan Muhammad Yafas adalah anak dari Puti
Mariam dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera enam orang: Puti Reno
Soraya Thaib, Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, Sutan Muhammad Thaib Tuanku Mudo
Mangkuto Alam, Puti Reno Yuniarti Thaib, Sutan Muhammad Farid Thaib, Puti Reno
Rahimah Thaib.
Sutan Usman Tuanku Tuo menikah dengan Rosnidar dari Tiga Batur (cicit dari Sutan
Mangun anak Sutan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera delapan orang: Puti Rahmah
Usman, Puti Mardiani Usman, Sutan Akmal Usman Khatib Sampono, Sutan M .Ridwan
Usman Datuk Sangguno, Sutan Rusdi Usman Khatib Muhammad, Puti Rasyidah Usman, Puti
Widya Usman, Sutan Rusman Usman, Puti Sri Darma Usman.
Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang tidak mempunyai putera.
Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek menikah dengan Ibrahim Malin Pahlawan dari
Bukit Gombak mempunyai putera tiga orang: Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah, Puti
Reno Fatima Zahara Tuan Gadih Etek dan Sutan Ismail Tuanku Mudo.
Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah menikah dengan Sy.Datuk Marajo dari Pagaruyung
mempunyai seorang putera : Sutan Syafrizal Tuan Bujang Muningsyah Alam.
Puti Reno Fatima Zahara menikah dengan Sutan Pingai Datuk Sinaro Patiah Tanjung Barulak
(adalah cicit dari Puti Fatimah dan piut dari Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang
Dipertuan Sembahyang) mempunyai putera delapan orang: Sutan Indra Warmansyah Tuanku
3
Mudo Mangkuto Alam, Sutan Indra Firmansyah, Sutan Indra Gusmansyah, Puti Reno Endah
Juita, Sutan Indra Rusmansyah, Puti Reno Revita, Sutan Nirwansyah Tuan Bujang Bakilap
Alam, Sutan Muhammad Yusuf.
Sutan Ismail Tuanku Mudo menikah dengan Yusniar dari Saruaso (adalah cicit dari Yam
Tuan Simawang anak Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera tujuh orang: Sutan
Fadlullah, Puti Titi Hayati, Sutan Satyagraha, Sutan Rachmat Astra Wardana, Sutan
Muhammad Thamrinul Hijrah, Puti Huriati, Sutan Lukmanul Hakim.
Sutan Ibrahim Tuanku Ketek dengan isteri pertamanya Dayang Fatimah dari Batipuh
(kemenakan Tuan Gadang Batipuh) mempunyai seorang putera: Sutan Syaiful Anwar Datuk
Pamuncak; dengan istri keduanya Nurlela dari Padang mempunyai seorang putera: Sutan
Ibramsyah dan isteri ketiganya Rosmalini dari Buo mempunyai puteri dua orang: Puti
Roswita dan Puti Roswati.
Dari kutipan Silsilah Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung dapat
dilihat bahwa ahli waris baik berdasarkan garis matrilineal maupun patrilineal adalah
anakcucu dari Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII yang sampai sekarang
mewarisi dan mendiami Istano Si Linduang Bulan di Balai Janggo Pagaruyung Batusangkar.
Setelah mamaknya Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap Belanda pada tanggal 2 Mei
1833 dan dibuang ke Batavia dan ayahnya Daulat Yang Dipertuan Abdul Jalil Yang
Dipertuan Sembahyang mangkat di Muara Lembu, maka Yang Dipertuan Gadih Puti Reno
Sumpu dijemput oleh Datuk-datuk Yang bertujuh untuk kembali ke Pagaruyung melanjutkan
tugas mamak dan sekaligus tugas ayahnya sebagai Raja Alam dan Raja Adat.
Sesampainya di Pagaruyung, ternyata tidak ada lagi istana yang berdiri di Pagaruyung
karena telah dibumi hanguskan. Kemudian pemerintah Belanda menawarkan bantuan untuk
mendirikan istananya di Gudam atau di Kampung Tengah atau di Balai Janggo. Beliau
memilih mendirikan istananya di Balai Janggo dengan alasan dekat dengan padangnya,
Padang Siminyak (diceritakan oleh cucu beliau Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam kepada
penulis). Nama Istana Si Linduang Bulan kembali dipakai (nama istana tempat kediaman
Raja Pagaruyung sejak dulu) untuk nama istana yang baru itu, sekaligus sebagai pengganti
dari istana-istana raja Pagaruyung yang terbakar semasa Perang Paderi.
Istana Si Linduang Bulan ini kemudian terbakar lagi pada tanggal 3 Agustus 1961.
Atas prakarsa Sutan Oesman Tuanku Tuo ahli waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam
Pagaruyung beserta anak cucu dan keturunan; Tan Sri Raja Khalid dan Raja Syahmenan dari
Negeri Sembilan, Azwar Anas Datuk Rajo Sulaiman, Aminuzal Amin Datuk Rajo Batuah,
4
bersama-sama Sapiah Balahan, Kuduang Karatan, Timbang Pacahan, Kapak Radai dari
Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung serta Basa Ampek Balai dan Datuk Nan
Batujuh Pagaruyung, Istana Si Linduang Bulan dibangun kembali dan diresmikan pada
tahun 1989.
*
Riwayat hidup dan perjuangan
SULTAN ALAM BAGAGAR SYAH
Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Minangkabau
(bahan-bahan dikutip dan dilengkapi dari buku;
SULTAN ALAM BABAGAR SYAH (1789-1949)
Raja Pagaruyung – Minangkabau yang terakhir
yang ditulis oleh
Drs.Mardanas Safwan
Anggota Panitia Sementara Penyelamat Makam Sultan Alam Bagagar Syah yang diketuai
oleh Prof.Dr.Hamka - 1975)
Sultan Alam Bagagar Syah yang juga memakai nama gelar Yang Dipertuan Hitam lahir
pada tahun 1789 di Balai Janggo Pagaruyung – Batusangkar Sumatera Barat. Beliau adalah
cucu dari raja Minangkabau yang bernama “Raja Alam Muning Syah” ( 9, h.2 ).
Sewaktu timbul Gerakan Padri di Minangkabau (1804 – 1821), Raja Alam Muning Syah
menyingkir ke daerah Batang Kuantan dan menetap di Lubuk Jambi, untuk menghindari
pertumpahan darah dengan Gerakan Padri.
Pada tahun 1819 Inggris menyerahkan kembali kota Padang ke tangan Belanda sesuai
dengan perjanjian London (13, h.127). Sesudah Belanda berkuasa kembali di kota Padang,
maka mereka berusaha mencampuri perang saudara yang timbul karena Gerakan Padri. Karena
Belanda ikut campur dalam persoalan intern Minangkabau, maka timbullah perang Padri (1821-
1837) antara Belanda dan Rakyat Minangkabau.
Setelah Belanda berkuasa kembali di Minangkabau, maka pada tahun 1825 komandan
pasukan Belanda di daerah Sumatera Barat, yaitu “Letnan Kolonel Raaf” meminta kepada Raja
Alam Muning Syah untuk pulang kembali ke Minangkabau. Beliau bersedia pulang tetapi tidak
bersedia memegang pemerintahan lagi karena umur beliau telah terlalu tua. Tetapi walaupun
begitu Belanda memberi hak pensiun kepada beliau sebagai penghormatan. Tidak begitu lama
hidupnya di Pagaruyung, maka pada tanggal 1 Agustus 1825 Raja Alam Muning Syah mangkat
5
dalam usia 80 tahun (8, h.14). Sebagai ganti Raja Alam Muning Syah, maka diangkatlah cucu
beliau yang bernama “Sultan Alam Bagagar Syah”.
Sultan Alam Bagagar Syah diangkat tidak lagi sebagai Raja Minangkabau, tetapi
sebagai “Regent Tanah Datar” yang digaji oleh pemerintah Belanda. Pangkatnya diturunkan
menjadi Regent (Bupati) Tanah Datar saja. (12, h.61). Kemudian Sultan Alam Bagagar Syah
dipindahkan oleh Belanda menjadi “Regent di Padang”.
Walaupun Sultan Alam Bagagarsyah hanya diangkat oleh pemerintah Belanda sebagai
Regent, tetapi rakyat Minangkabau masih menganggap beliau sebagai Raja Minangkabau yang
sah. Penghargaan dan penghormatan terhadap Sultan Alam Bagagar Syah masih tetap sebagai
seorang raja. Kemanapun beliau pergi selalu diiringi oleh pengawal sebanyak 50 orang, yang
terdiri dari Penghulu-penghulu yang memakai keris, opsir-opsir berbedil dan berpedang di
pinggang. Semua pengawal beliau bersenjata, sebagaimana layaknya pengawal seorang raja. (9,
h.8).
Meskipun Sultan Alam Bagagar Syah resminya hanya menjadi pegawai pemerintah
Belanda, tetapi bathinnya beliau adalah Raja Minangkabau yang diakui dan dicintai oleh
rakyatnya.
Pada masa pemerintahan Sultan Alam Bagagar Syah perang Padri sedang berkecamuk
di daerah Minangkabau. Sebagai seorang pemimpin rakyat Sultan Alam Bagagar Syah selalu
memikirkan bagaimana caranya untuk mengusir Belanda dari daerah Minangkabau, walaupun
Belanda cukup bersenjata. Persiapan menyeluruh harus dipersiapkan dengan matang, dan
disokong oleh seluruh rakyat dan pemimpin Minangkabau.
Pada waktu yang bersamaan di Jawa juga berkobar perang Diponegoro yang
berlangsung 1825-1830. Keunggulan Belanda sebenarnya dalam setiap peperangan adalah
kelihaiannya dalam mempergunakan taktik adu domba untuk memecah belah kekuatan lawan.
Begitulah sehingga Panglima Perang Diponegoro yang bernama Sentot Alibasyah
Prawirodirdjo bersedia bergabung dengan tentara Belanda asal tidak dilucuti dan prajuritnya
diterima secara lengkap. Pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot dengan pasukannya memasuki
kota Yogyakarta dengan disambut oleh tentara Belanda dengan kehormatan militer. Kemudian
tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap oleh Belanda dengan jalan
licik. Setelah perang Diponegoro berakhir, maka pada tahun 1831 Sentot dengan tentaranya
dikirim ke Minangkabau untuk disuruh berperang oleh Belanda (9, h.3).
Dengan kekuatan sebanyak 1800 orang yang diperlengkapi dengan senjata meriam dan
mortil, Sentot ditempatkan di pedalaman Minangkabau dengan tujuan utama untuk membantu
6
Belanda melawan Padri. (8, h.16). Tidak lama Sentot bertugas di Minangkabau, maka terjadilah
kontak antara Sentot dengan pemimpin-pemimpin Minangkabau. Sentot berhubungan secara
rahasia dengan pemuka-pemuka Padri bahkan menurut berita ia pernah bertemu dengan Tuanku
Imam Bonjol, disalah satu tempat yang tidak diberitahukan. Dengan Sultan Alam Bagagar
Syah, Sentot juga mengadakan pertemuan rahasia guna mengatur langkah untuk melawan
Belanda. Timbullah kesatuan tekad untuk menggabungkan tiga kekuatan untuk mengusir
Belanda dari Minangkabau, kekuatan itu adalah :
1). Kekuatan Padri dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol
2). Kekuatan Daulat di Pagaruyung dengan pimpinan Sultan Alam Bagagar Syah
3). Kekuatan pengikut Diponegoro di bawah pimpinan Sentot Alibasyah Prawirodirdjo.
Dengan demikian terkabullah sudah cita-cita Sultan Alam Bagagar Syah untuk
mempersatukan kekuatan melawan Belanda di daerah Minangkabau (9, h.4). Sultan Alam
Bagagar Syah segera membuat surat rahasia kepada seluruh pemimpin dan pemuka masyarakat
di Minangkabau antara lain Tuanku Imam dari Kamang dan Tuan Alam beserta semua
penghulu dari Luhak Nan Tigo, Raja Tigo Selo, Yang Dipertuan di Parit Batu, Tuanku Sambah
di Batang Sikilang dan Tuanku Air Batu.
Isi Surat itu adalah sebagai berikut :
“Kami mempermaklumkan kepada tuanku-tuanku dan semua penghulu, bahwa semua
yang telah diputuskan tempo hari harus kita lanjutkan dengan segenap kekuatan, supaya kita
tidak menanggung kerugian. Kita Raja Nan Sedaulat dan penghulu dari Sawah Duku anak
kemenakan dari daratan dan lautan inilah adat kita. Kini saya meminta kepada tiga saudara
saya, dan juga kepada semua penghulu, bahwa ninik mamak sekalian akan bersatu padu dan
jangan gagal, yaitu dalam menghalau kompeni. Pergunakanlah semua kepandaian Tuanku,
supaya kita tidak celaka. Engku-engku mulailah dan teruskan. Jika Tuanku mendapat salah satu
rintangan surutlah selangkah, tetapi janganlah melakukan gerakan yang keliru, sewaktu berjalan
ke laut atau ke darat. Bersatulah semua Raja dan Datuk, baik yang di Utara maupun yang di
Selatan, dan begitu pula rakyat di darat dan di laut. Inilah permintaan saya kepada saudara
semuanya. Adapun Bangsa Batak dan Melayu janganlah takluk kepada pemerintah Kompeni.
Baik sekali kita memerintah mereka, supaya mereka jangan berperang melawan kita. Kami
yang dari Tiga Luhak telah bersatu dengan Daulat Yang Dipertuan di Pagaruyung, dan
Alibasyah raja Jawa, yang telah kita muliakan, seperti Daulat Yang Dipertuan Pagaruyung, dan
ia telah berjanji akan mengusir Kompeni dari Pagaruyung hingga kita ada harapan akan hidup
bahagia. Inilah persetujuan kita dengan Alibasyah. Kompeni tak akan memerintah negeri kita
7
lagi melainkan Alibasyah dan Daulat Yang Dipertuan.” ditulis hari Ahad malam tanggal 18
Syawal 1246 (8, h.17).
Surat dari Sultan Alam Bagagar Syah sebagian telah sampai ke tangan pemimpin dan
pemuka-pemuka Minangkabau, untuk dilaksanakan. Pada permulaan tahun 1833 terjadilah
pemberontakan serentak di mana golongan adat dan golongan Padri bersatu untuk mengusir
Belanda (10, h.36). Sesuai dengan rencana pertama yang telah ditetapkan pada tanggal 11
Januari 1833 tengah malam serangan serentak dilancarkan pada Pos Belanda di Minangkabau
(13, h.138).
Peristiwa 11 Januari ini mempunyai arti yang penting dalam sejarah Minangkabau
dalam rangka menentang penjajahan Belanda. Dalam pada itu adanya persekongkolan antara
Sultan Alam Bagagar Syah, Sentot dan Padri telah mulai tercium oleh Belanda. Markas Besar
di Batavia telah mengetahui dari laporan, bahwa Sentot telah berkhianat kepada pemerintah
Belanda.
Akibatnya Sentot kemudian diasingkan ke Bengkahulu dan meninggal di tempat
pengasingan. Sentot bertugas di Minangkabau hanya 10 bulan (Juni 1832 – April 1833).
Sesudah Sentot diasingkan maka pemerintah Belanda mulai menggempur pengikut Sultan Alam
Bagagar Syah satu persatu.
Mula-mula diadakan penangkapan terhadap Tuanku Alam, yang juga dilakukan dengan
tipu muslihat oleh Mayor De Quay yang bermarkas di Biaro Bukittinggi. Kemudian pasukan
Tuanku Nan Cerdik yang bermarkas di Naras Pariaman juga digempur oleh tentara Belanda.
Sesudah pengikut setia Sultan Alam Bagagarsyah disingkirkan oleh pemerintah Belanda, maka
mereka mulai membuat rencana untuk menangkap Sultan Alam Bagagar Syah sendiri.
Penangkapan terhadap beliau bukanlah hal mudah bagi pemerintah Belanda. Oleh karena itu
mereka mencari waktu yang baik buat menangkap Baginda (9, h.8).
Pada tanggal 12 Mei 1833 Belanda telah menyusun rencana untuk menangkap “Yang
Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah” dengan mengadakan pertemuan di Batusangkar. Residen
Elout datang ke Batusangkar untuk menghadiri pertemuan itu. Sementara itu sepasukan tentara
Belanda telah dipersiapkan untuk melakukan penangkapan, disaat upacara selesai (8, h.16).
Yang Dipertuan hadir lengkap dengan pengawalnya sebanyak 50 orang yang memakai senjata
lengkap. Sesudah selesai semua persiapan, maka Residen Elout menyerahkan sehelai surat
kepada pengawal Sultan Alam Bagagar Syah untuk membacanya. Yang Dipertuan sudah tahu
bahwa surat itu adalah surat beliau sendiri yang ditujukan kepada pemimpin-pemimpin
8
Minangkabau. Sebagai kesatria beliau menyuruh membaca surat itu kepada pengawalnya dan
mengakui bahwa yang membuat surat itu adalah beliau sendiri.
Residen meminta agar Baginda menyerahkan kerisnya, sementara serdadu Belanda
melucuti senjata para pengawal Sultan. Sesudah para pengawal itu dilucuti senjatanya maka
mereka diizinkan pulang (6, h.9). Sesudah itu Sultan Alam Bagagar Syah langsung ditangkap
oleh pemerintah Belanda..
Sultan Alam Bagagar Syah dengan dikawal oleh satu detasemen serdadu Belanda
berkuda meninggalkan Batusangkar menuju Padang. Sampai di Padang langsung dimasukkan
ke dalam penjara, dan kemudian dipindahkan ke Batavia sebagai tawanan negara. Sesudah
Sultan diasingkan maka perlawanan rakyat di Minangkabau, semakin meningkat. Karena
perlawanan yang berlarut-larut, maka pemerintah Belanda kepayahan sehingga bulan
September 1833 Gubernur Jendral Van Den Bosch terpaksa datang ke Sumatera Barat. Van
Den Bosch mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai.
Tuanku Imam Bonjol bersedia berdamai dengan syarat-syarat :
1. Sultan Alam Bagagar Syah supaya dikembalikan ke Minangkabau dan hak-haknya
dipulihkan
2. Orang Minangkabau tidak bersedia beraja kepada Kompeni (Belanda).
Dengan demikian jelaslah bahwa Sultan Alam Bagagarsyah masih dicintai oleh rakyat
Minangkabau, seperti yang tergambar dari syarat Tuanku Imam Bonjol (9, h.10). Tuntutan itu
ditolak oleh Pemerintah Belanda, sehingga perang berkecamuk lagi. Perang Padri (perlawanan
rakyat Minangkabau) baru berakhir sesudah benteng Bonjol dapat direbut pada tanggal 16
Agustus 1837 (13, h.151). Dalam pada itu Sultan Alam Bagagar Syah akhirnya mangkat di
Batavia pada tanggal 12 Februari 1849 dan dimakamkan didaerah Mangga Dua (5, h.3)
Sumber-sumber Belanda tentang Sultan Alam Bagagar Syah juga menyebutkan :
1. Yang menurut penguasa-penguasa di Padang, adalah keturunan Raja-raja Minangkabau, dan
telah bersalah melakukan pengkhianatan besar terhadap pemerintah (1, h.1).
2. a. Ia selalu mengadakan hubungan dengan Sentot Alibasyah
b. Dia tidak perkenankan berhubungan dengan orang lain (1, h.3).
3. Tahanan yang berasal dari Sumatera Barat Yang Dipertuan dan Nan Cerdik membebaskan
mereka dari tahanan dan memberikan mereka tempat kediamam sementara (2, h.1).
4. Sedangkan kebanyakan perwira-perwira pasukan beranggapan bahwa Sultan Alam Bagagar
Syah adalah pencetus utama dari suatu pemberontakan umum dari rakyat Padang Darat
9
yang bakal dimulai dan sebahagian juga telah dijalankan melawan pemerintah orang-orang
Eropa disana (4, h.3).
5. Bahwa pada tanggal 12 Pebruari yang lalu, telah meninggal disini “Tahanan Negara” Sultan
Alam Bagagar Syah, juga dikenal sebagai Yang Dipertuan yang berasal dari Sumatera Barat
(5, h.3).
6. Surat permintaan tertanggal Padang 22 Mei 1872 dari Puti Siti Sarigumilan puteri dari
Tuanku Pagaruyung yang dibuang (Residensi Padang darat Gubernemen Sumatera Barat),
Sultan Alam Bagagar Syah (6, h.1).
7. Surat permintaan tertanggal Padang 11 Juli 1873 dari Puti Siti Sarigumilan dan puteri Puti
Siti Alam Perhimpunan, putera-puteri dari Tuanku Pagaruyung yang dibuang (Residensi
Padang darat Gubernemen Sumatera Barat), Sultan Alam Bagagar Syah (7, h.1).
Kesimpulan ;
Dari seluruh uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan :
1. Sultan Alam Bagagar Syah adalah Raja Pagaruyung Minangkabau yang terakhir yang
resminya berkedudukan sebagai Regent (Bupati) Tanah Datar dan Kemudian Padang.
2. Sultan Alam Bagagar Syah telah berhasil menghimpun 3 kekuatan yang ada di
Minangkabau ( Yang Dipertuan – Sentot Alibasyah – Padri ) untuk bersama mengusir
Belanda di Minangkabau. Kerja sama dengan Sentot menunjukkan telah adanya benih
Nasionalisme didalam dada Sultan Alam Bagagar Syah.
3. Surat Sultan Alam Bagagar Syah kepada pemuka-pemuka masyarakat Minangkabau
berhasil ditemukan pleh pemerintah Belanda. Akibatnya Sultan Alam Bagagar Syah
ditangkap dan dibuang oleh pemerintah Belanda ke Batavia dan wafat di Batavia 12
Februari 1849.
4. Sumber-sumber Belanda juga menyebutkan dengan jelas bahwa Sultan Alam Bagagar Syah
adalah musuh dari pemerintahan Belanda dan bersekongkol dengan Sentot Alibasyah.
5. Dengan bahan-bahan yang telah dikumpulkan nyatalah bahwa Sultan Alam Bagagar Syah
adalah Pahlawan bagi rakyat Minangkabau khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Daftar Sumber
1. Besluit : Batavia 3 Juni 1833. No 2255
1740
2. Besluit : Tanggal 10 Juni 1833 No.5
10
3. Komisaris General Van : Extract uit het Register der Besluiten Buitenzorg den
Nederlandsch Indie 20 Juli 1833
4. Resident Van batavia : Gesteld in Landen Van Den Resident Batavia.
Batavia den 24 Februari 1834
5. Resident Van Batavia : Batavia den 15 Februari 1849.
6. Gouvernor General Van : Extract uit het Register der Besluit Buitenzorg den
Nederlandsch Indie 20 September 1872
7. Gouvernor General Van : Extract uit het Register der Besluit Buitenzorg de2en
Nederlandsch Indie September 1873
( Semua Bahan diatas berasal dari Koleksi “Arsip Nasional Republik Indonesia” )
8. Amura Drs.H. : Raja Pagaruyung terakhir, Majalah kebudayaan
Minangkabau No. 1 Jakarta 1974
9. Hamka Prof. Dr. : Sultan Alam Bagagar Syah
Sultan Alam Minangkabau terakhir. Jakarta, 1974.
10. Kementerian Penerangan : Propinsi Sumatera Tengah
11. M.O. Perlindungan : Tuanku Rao. Tanjung pengharapan, Jakarta, 1974
12. Moh. Radjab. Drs. : Perang Padri. Balai Pustaka, Jakarta, 1964.
13. M.D. Mansoer Drs. Cs. : Sejarah Minangkabau. Bhratara, Jakarta, 1970
14. Sanusi Pane : Sejarah Indonesia Jilid I
Balai Pustaka, Jakarta, 1950.
15. Silsilah Ahli Waris dan Keturunan Daulat yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung.

Pagaruyuang4

YANG DI PERTUAN SULTAN ALAM MUNINGSYAH
Tuanku Raja Muning Alamsyah atau juga yang disebut Yang
Dipertuan Sultan Alam Muningsyah adalah raja alam Pagaruyung yang
secara luar biasa selamat dari tragedi pembunuhan di Koto Tangah,
Tanah Datar pada tahun 1809 dalam masa Perang Paderi berkecamuk di
Minangkabau. Tahun terjadinya tragedi ini dipertikaikan. Christine
Dobin mencatatkan dalam Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani
Yang Sedang Berubah, (Inis, Jakarta 1992) tragedi tersebut terjadi pada
tahun 1815, sebagaimana yang juga ditulis Rusli Amran dalam Sumatera
Barat Hingga Plakat Panjang, (Sinar Harapan, Jakarta 1981).
Menurut A.A.Navis dalam Alam Terkembang Jadi Guru
(Penerbit PT Pustaka Grafiti pers, Jakarta 1984 cetakan pertama) tragedi
tersebut bermula dari pertengkaran antara kaum Paderi dengan kaum adat
yang diwakili oleh raja beserta pembesar kerajaan lainnya. Menurut MD
Mansur dkk.dalam Sejarah Minangkabau (Penerbit Bharata, Jakarta,
1970) perundingan tersebut diadakan pada tahun 1809. Padamulanya
dilakukan dengan iktikad baik oleh Tuanku Lintau, telah beralih menjadi
sebuah pertengkaran. Menurut Muhamad Radjab dalam bukunya Perang
Paderi, (Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1964 cetakan kedua) hal itu
terjadi juga pada tahun 1809. Karena ikut campurnya Tuanku Lelo, salah
seorang tokoh Paderi yang ambisius dari Tapanuli Selatan. Beberapa
orang dari keluarga raja seperti Tuanku Rajo Naro, Tuanku di Talang dan
seorang putra raja lainnya dituduh tidak menjalankan aqidah Islam secara
benar, oleh karena itu mereka anggap kapir dan harus dibunuh.
Perundingan berubah menjadi pertengkaran dan berlanjut menjadi
pembunuhan. Semua rombongan raja beserta Basa Ampek Balai dan para
penghulu lainnya terbunuh. Daulat Yang Dipertuan Muningsyah dapat
menyelamatkan diri dengan cara yang ajaib sekali. Baginda bersama
2
cucu perempuannya Puti Reno Sori menghindar ke Lubuk Jambi
Kuantan.
Menurut silsilah raja-raja Pagaruyung, Puti Reno Sori bersaudara
dengan Sultan Alam Bagagar Syah, pada masa yang sama menyingkir ke
Padang. Sultan Alam Bagagar Syah, Puti Reno Sori dan tiga saudara
mereka lainnya adalah anak dari Tuan Gadih Puti Reno Janji dan
ayahnya Yang Dipertuan Fatah. Sewaktu Sultan Alam Bagagar Syah
dinobatkan menjadi raja alam menggantikan datuknya Sultan Alam
Muningsyah, saudara sepupunya Sultan Abdul Jalil yang berada di Buo
dikukuhkan menjadi Raja Adat dengan gelar Yang Dipertuan
Sembahyang.
A.A. Navis dalam Alam Terkembang Jadi Guru, mencatat bahwa
Daulat Yang Dipertuan Muningsyah wafat pada 1825 dalam usia 80
tahun. Baginda dimakamkan di pemakaman raja-raja Minangkabau,
ustano rajo di Pagaruyung.

Pagaruyuang3

RAJO TIGO SELO
Rajo Tigo Selo merupakan sebuah institusi tertinggi dalam
kerajaan Pagaruyung yang dalam tambo adat disebut Limbago Rajo.
Tiga orang raja masing-masing terdiri dari Raja Alam, Raja Adat
dan Raja Ibadat yang berasal dari satu keturunan. Ketiga raja dalam
berbagai tulisan tentang kerajaan Melayu Minangkabau ditafsirkan
sebagai satu orang raja. Itulah sebabnya sejarah mencatat bahwa raja
Melayu sewaktu didatangi Mahisa Anabrang dari Singosari yang
memimpin ekspesidi Pamalayu bernama Tribuana Raja Mauli
Warmadewa. Arti kata tersebut adalah tiga raja penguasa bumi
yang berasal dari keluarga Mauli Warmadewa.
Antara anggota Raja Tigo Selo selalu berusaha menjaga
hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan cara saling
mengawini dengan tujuan untuk memurnikan darah kebangsawanan
di antara mereka, juga untuk menjaga struktur tiga serangkai
kekuasaan agar tidak mudah terpecah belah.
Raja Alam merupakan yang tertinggi dari kedua raja; Raja
Adat dan Raja Ibadat. Raja Alam memutuskan hal-hal mengenai
kepemerintahan secara keseluruhan. Raja Adat mempunyai tugas
untuk memutuskan hal-hal berkaitan dengan masalah peradatan, dan
Raja Ibadat untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut
keagamaan, Dalam kaba Cindua Mato kedudukan dan fungsi dari
raja-raja ini dijelaskan dalam suatu jalinan peristiwa. Menurut
A.A.Navis dalam Alam Terkembang jadi Guru (PT Pustaka
Grafitipers 1984, Jakarta) kaba Cindua Mato sebenarnya adalah
Tambo Pagaruyung yang diolah jadi kaba. Dalam konteks ini,
informasi dari kaba Cindua Mato tentang tugas raja-raja tersebut
merupakan sesuatu yang dapat juga dijadikan rujukan. Sedangkan
institusi untuk Raja Adat dan Raja Ibadat disebut sebagai Rajo Duo
Selo.
1. RAJA ALAM
Pucuk pemerintahan kerajaan Minangkabau yang berpusat di
Pagaruyung mempunyai struktur tersendiri. Kekuasaan
pemerintahan dipegang oleh tiga orang raja; Raja Alam, Raja Adat
dan Raja Ibadat. Masing-masing raja mempunyai tugas,
kewenangan dan mempunyai daerah kedudukan tersendiri. Raja
Alam membawahi Raja Adat dan Raja Ibadat. Raja Alam
berkedudukan di Pagaruyung. Semua penjelasan mengenai
kedudukan dan kekuasaan raja-raja tersebut pada dasarnya bertolak
dari uraian yang ada di dalam tambo dan pada kaba Cindua Mato,
karena kaba Cindua Mato dianggap sebagai tambo Pagaruyung yang
dikabakan.
Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat ketiganya disebut
Rajo Tigo Selo Sedangkan Raja Adat dan Raja Ibadat disebut Rajo
Duo Selo Ketiga-tiga raja berasal dari keturunan yang sama.
Masing-masing selalu berusaha untuk saling bersatu dalam jalinan
perkawinan. Mungkin hal ini diperlukan untuk menjaga keutuhan
kekuasaan Rajo Tigo Selo, dan untuk mempertahankan
kebangsawan keturunan mereka.
Raja Alam merupakan kepala pemerintahan, sedangkan Raja
Adat mengurus masalah-masalah peradatan dan Raja Ibadat
mengurus masalah-masalah keagamaan dan pendidikan.
Masing-masing raja mempunyai daerah kedudukan masingmasing.
Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung, Raja Adat
berkedudukan di Buo dan Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur
Kudus. Hal itu berarti bahwa Raja Adat maupun Raja Ibadat
tidaklah berasal dari Buo dan Sumpur Kudus, sebagaimana
pendapat sebagian orang yang kurang memahami konstelasi dan
hubungan antara raja-raja tersebut.
Selain mempunyai daerah kedudukan tersendiri, Raja Alam
menguasai daerah-daerah rantau. Pada setiap daerah Raja Alam
mengangkat wakil-wakilnya yang diberi kewenangan mewakili
kekuasaan raja disebut “urang gadang” atau “rajo kaciak”. Mereka
setiap tahun mengantarkan “ameh manah” kepada raja. Daerahdaerah
rantau tersebut terbagi dalam dua kawasan yang lebih luas;
rantau pantai timur dan rantau pantai barat.
Yang termasuk ke dalam rantau pantai timur adalah; Rantau
nan kurang aso duo puluah (di sepanjang Batang Kuantan) disebut
juga Rantau Tuan Gadih; Rantau duo baleh koto (sepanjang batang
Sangir) disebut juga Nagari Cati Nan Batigo; Rantau Juduhan
(kawasan Lubuk Gadang dan sekitarnya) disebut juga Rantau Yang
Dipertuan Rajo Bungsu; Rantau Bandaro nan 44 (sekitar Sei.Tapung
dan Kampar); Negeri Sembilan
Sedangkan rantau pantai barat mencangkup daerah-daerah;
Bayang nan 7, Tiku Pariaman, Singkil Tapak Tuan disebut juga
Rantau Rajo; Bandar X disebut juga Rantau Rajo Alam Surambi
Sungai Pagu.
2. RAJO ADAT
Raja Adat yang berkedudukan di Buo adalah salah seorang
dari Rajo Duo Selo di samping Raja Ibadat yang berkedudukan di
Sumpur Kudus. Juga menjadi salah seorang dari Rajo Tigo Selo
yang dikepalai oleh Raja Alam. Raja Adat berwenang memutuskan
perkara-perkara masalah peradatan, apabila pihak Basa Ampek
Balai tidak dapat memutuskannya. Apabila ada persoalan adat yang
tidak mungkin pula dapat diputuskan oleh Raja Adat, persoalan
tersebut dibawa kepada Raja Alam. Raja Alam lah memutuskan
segala sesuatu yang tidak dapat diputuskan oleh yang lain.
Seorang Portugis bernama Thomas Diaz pada tahun 1684
diizinkan Belanda untuk memasuki daerah pedalaman
Minangkabau. Menurut laporan Thomas Diaz, dia bertemu dengan
Raja Adat di Buo. Raja Adat tinggal pada sebuah rumah adat yang
berhalaman luas dan mempungai pintu gerbang. Di pintu gerbang
pertama dikawal sebanyak 100 orang hulubalang sedangkan di pintu
gerbang kedua dikawal oleh empat orang dan dipintu masuk dijaga
oleh seorang hulubalang. Dalam menyambut Thomas Diaz, Raja
Adat dikeliling oleh para tokoh-tokoh berpakaian haji. Kemudian
Raja Adat memberi Thomas Diaz gelar kehormatan Orang Kaya
Saudagar Raja Dalam Istana.
3. RAJO IBADAT
Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus adalah
salah seorang dari Rajo Duo Selo di samping Raja Adat yang
berkedudukan di Buo. Juga menjadi salah seorang dari Rajo Tigo
Selo yang dikepalai oleh Raja Alam Raja Ibadat berwenang
memutuskan perkara-perkara masalah keagamaan apabila pihak
Basa Ampek Balai tidak dapat memutuskannya. Apabila ada
masalah-masalah keagamaan yang tidak dapat diputuskan oleh Raja
Ibadat, persoalan tersebut dibawa kepada Raja Alam. Raja Alam lah
memutuskan segala sesuatu yang tidak dapat diputuskan oleh yang
lain.
4. BASA AMPEK BALAI
Dalam struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung, Rajo
Tigo Selo atau Raja Tiga Sila, dibantu oleh orang besar atau Basa
yang kumpulannya disebut Basa Ampek Balai, empat orang besar
yang mempunyai tugas, kewenangan-kewenangan dan tempat
kedudukan atau wilayah sendiri pada nagari-nagari yang berada di
sekeliling pusat kerajaan, Pagaruyung.
Pertama, Datuk Bandaro Putiah yang bertugas sebagai
Panitahan atau Tuan Titah mempunyai kedudukan di Sungai Tarab
– dengan gelar kebesarannya Pamuncak Koto Piliang. Panitahan
merupakan pimpinan, kepala atau yang dituakan dari anggota Basa
Ampek Balai dalam urusan pemerintahan. Kedua, Tuan Makhudum
yang berkedudukan di Sumanik dengan julukan Aluang bunian
Koto Piliang yang bertugas dalam urusan perekonomian dan
keuangan. Ketiga, Tuan Indomo berkedudukan di Saruaso dengan
julukan Payung Panji Koto Piliang dengan tugas pertahanan dan
perlindungan kerajaan. Keempat, Tuan Khadi berkedudukan di
Padang Ganting dengan julukan Suluah Bendang Koto Piliang
dengan tugas mengurusi masalah-masalah keagamaan dan
pendidikan.
Dalam struktur dan tatanan kerja para pembesar kerajaan
dalam kerajaan Pagaruyung tersebut, selain Basa Ampek Balai
sebagai pembantu raja, juga dilengkapi dengan seorang pembesar
lain yang bertugas sebagai panglima perang yang setara dengan
anggota Basa Ampek Balai lainnya, disebut Tuan Gadang
berkedudukan di Batipuh dengan julukan Harimau Campo Koto
Piliang. Tuan Gadang bukanlah anggota dari Basa Ampek Balai,
tetapi setara dengan masing-masing anggota Basa Ampek Balai.
Tetap takluk kepada raja.
Setiap Basa, mempunyai perangkat sendiri untuk mengurus
masalah-masalah daerah kedudukannya. Masing-masing
membawahi beberapa orang datuk di daerah tempat kedudukannya,
tergantung kawasannya masing-masing. Setiap Basa diberi
wewenang oleh raja untuk mengurus wilayah-wilayah tertentu,
untuk memungut pajak atau cukai yang disebut ameh manah.
Misalnya; Datuk Bandaro untuk daerah pesisir sampai ke Bengkulu.
Makhudum untuk daerah pesisir timur sampai ke Negeri Sembilan.
Indomo untuk daerah pesisir barat utara. Tuan Kadi untuk daerah
Minangkabau bagian selatan.
Cara kerja Basa Ampek Balai yang agak lengkap
diterangkan dalam kaba Cindua Mato, sebuah kaba yang dianggap
sebagai legenda, bahkan juga ada yang menganggapnya sebagai
bagian dari sejarah kerajaan Pagaruyung. Di dalam kaba Cindua
Mato, Basa Ampek Balai mempunyai peranan yang cukup penting
dalam menentukan sebuah keputusan yang akan diambil oleh raja
Minangkabau. Menurut kaba tersebut, Basa Ampek Balai dapat
diangkat dan diberhentikan oleh Bundo Kanduang atau raja
Minangkabau. Kekuasaan dan kebesaran mereka semua berkat
pemberian dan keizinan Bundo Kanduang.
Ketika terjadi tragedi pembunuhan raja-raja Pagaruyung dan
para pembesar kerajaan di Koto Tangah dalam masa Perang Paderi,
semua Basa Ampek Balai ikut terbunuh. Setelah Yang Dipertuan
Sultan Alam Bagagar Syah raja alam Minangkabau ditawan Belanda
dan dibuang ke Betawi pada 1833, Yang Dipertuan Gadis Puti Reno
Sumpu sebagai pengganti dan pelanjut Yang Dipertuan Sultan Alam
Bagagar Syah mendandani kembali perangkat kerajaan dengan
mengangkat kembali Basa Ampek Balai.
Menurut A.A.Navis dalam Alam Terkembang Jadi Guru,
struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung dengan Basa Ampek
Balai sebagai pembantu raja, merupakan tiruan dari struktur
pemerintahan kerajaan Majapahit.
Struktur ini juga dipakai sampai sekarang pada kerajaan
Negeri Sembilan yang dikenal dengan istilah Undang Yang Empat.
Hal itu mungkin disebabkan karena Negeri Sembilan dulunya
merupakan daerah rantau orang Minang, dan tatanan sosial mereka
mengikut apa yang ada di negeri asalnya, Minangkabau.
Sampai sekarang Basa Ampek Balai sudah merupakan
institusi adat yang tetap diakui keberadaannya, walaupun sistem
beraja-raja di Minangkabau sudah dihapuskan.
5. LANGGAM NAN TUJUAH
Di dalam sistem pemerintahan kerajaan Pagaruyung, selain
adanya institusi raja, yang dikenal dengan sebutan Rajo Tigo Selo
dan pembantu-pembantu raja yang dikenal dengan Basa Ampek
Balai, di bawah Basa Ampek Balai ada enam orang gadang yang
masing-masing juga mempunyai daerah dan kedudukan tersendiri
dengan tugas dan kewenangan tersendiri pula. Keenam orang besar
ini bersama pimpinannya Panitahan Sungai Tarab disebut Gadang
Nan Batujuah atau lazim juga disebut Langgam Nan Tujuah yang
terdiri dari;
a. Pamuncak Koto Piliang, kedudukan dan daerahnya di Sungai
Tarab Salapan Batu, sebagai pimpinan Langgam Nan Tujuah.
b. Gajah Tongga Koto Piliang, kedudukan dan daerahnya di
Silungkang dan Padang Sibusuak, sebagai kurir dan menjaga
perbentengan bagian selatan Minangkabau.
c. Camin Taruih Koto Piliang, kedudukan dan daerahnya
Singkarak dan Saningbaka yang bertugas sebagai badan
penyelidik.
d. Cumati Koto Piliang, kedudukan dan daerahnya Sulit Air yang
bertugas sebagai pelaksana hukum
e. Perdamaian Koto Piliang, kedudukan daerahnya Simawang
dan Bukit Kanduang yang diberi tugas untuk menjadi pendamai
dari nagari-nagari yang bersengketa.
f. Harimau Campo Koto Piliang, kedudukan dan daerahnya
Batipuh Sapuluah Koto, sebagai panglima perang.
g. Pasak kungkuang Koto Piliang, kedudukan dan daerahnya
Sungai Jambu dan Labuatan dengan tugas utamanya mengawasi
keamanan dalam nagari.

Pagaruyuang2

YANG DIPERTUAN GADIS
Gelar Yang Dipertuan Gadis (Tuwan Gadih) bagi perempuan
keturunan Raja Pagaruyung di dalam Tambo Pagaruyung pertama kali
dijumpai pada generasi ke XI yang dipakai oleh Puti Reno Maharani
yang menjadi Rajo Pusako (Raja Adat) ke 3 di Buo. Dia adalah anak
dari Puti Reno Marak Rindang Ranggowani dengan Tuanku Rajo di
Buo (Raja Adat ke II). Gelar Tuan Gadih ke II diwariskan kepada Puti
Reno Nalo Nali anak dari Tuan Gadih Puti Reno Maharani dengan Rajo
Bagewang II (Tuan Titah ke V). Tuan Gadih ke III adalah Puti Reno
Jalito anak Tuan Gadih Puti Reno Nalo Nali dengan Tuan Titah VI.
Tuan Gadih ke IV adalah Puti Reno Pomaisuri anak dari Tuan Gadih
Puti Reno Jalito dengan Daulat Yang Dipertuan Batu Hitam Raja Alam
Pagaruyung. Tuan Gadih Pomaisuri adalah permaisuri dari Yam Tuan
Bakilap Alam (Daulat Yang Dipertuan Sulthan Alif I) yang menjadi
Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat sekaligus. Pada masanya tahun
1580 Istana Pagaruyung dipindahkan ke Melayu Ujung Kapalo Koto di
Balai Janggo Pagaruyung, sekaligus menandai era keIslaman dalam
kerajaan tersebut. Anaknya Puti Reno Rampiang memakai gelar Tuan
Gadih ke V. Puti Reno Baruaci anak dari Puti Reno Rampiang Tuan
Gadih ke V dengan Yamtuan Rajo Samik I (Raja Ibadat) di Sumpur
memakai gelar Tuan Gadih ke VI. Puti Reno Kuniang anak dari Puti
Reno Baruaci Tuan Gadih ke VI dengan Raja Alam Daulat Yang
Dipertuan Paduka Sri Sulthan Ahmadsyah Yam Tuan Rajo
Barandangan yang memerintah pada tahun ±1660, memakai gelar Tuan
Gadih ke VII sekaligus menjadi Raja Adat. Puti Reno Janggo anak dari
Puti Reno Kuniang dengan Yam Tuan Rajo Pingai memakai gelar Tuan
Gadih ke VIII sekaligus menjadi Raja Adat. Puti Reno Suto anak dari
Puti Reno Janggo dengan Daulat Yang Dipertuan Raja Bagagarsyah
Alam (Yam Tuan Jambang Raja Alam di Balai Janggo memakai gelar
Tuan Gadih ke IX sekaligus menjadi Raja Adat berkedudukan di Balai
Janggo Pagaruyung. Puti Reno Aluih memakai gelar Tuan Gadih ke X
2
adalah anak dari Puti Reno Janggo Tuan Gadih ke IX dengan Yam Tuan
Rajo Gamuyang (Tuan Titah ke XII). Puti Reno Janji memakai gelar
Tuan Gadih ke XI adalah anak dari Puti Reno Aluih Tuan Gadih ke X
dengan Yam Tuan Balambangan (Makhudum Sumanik). Puti Reno Sori
memakai gelar Tuan Gadih ke XII adalah anak dari Puti Reno Janji
Tuan Gadih ke XI dengan Daulat Yang Dipertuan Sulthan Alam
Muningsyah II (Raja Alam pada tahun 1780). Puti Reno Sumpu
memakai gelar Tuan Gadih XIII adalah anak dari Puti Reno Sori Tuan
Gadih ke XII dengan Daulat Yang Dipertuan Sulthan Abdul Jalil (Yam
Tuan Garang atau Yang Dipertuan Sembahyang,yang menjadi Raja
Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat setelah saudaranya Sultan Alam
Bagagarsyah dibuang Belanda ke Betawi). Puti Reno Sumpu ini
mewarisi Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat setelah mamaknya
Sulthan Alam Bagagarsyah (Yang Dipertuan Hitam, Raja Alam)
dibuang Belanda ke Betawi dan ayahnya Sulthan Abdul Jalil (Raja
Alam, Raja Ibadat, Raja Adat) mangkat. Puti Reno Saiyah memakai
gelar Tuan Gadih ke XIV (Tuan Gadih Mudo) adalah anak dari Puti
Reno Sumpu Tuan Gadih ke XIII dengan Sutan Mangun (Tuan Titah ke
XVI) anak dari Sulthan Alam Bagagarsyah di Sungai Tarab. Tuan
Gadih ke XV adalah anak-anak dari Puti Reno Saiyah Tuan Gadih ke
XIV dengan Sutan Badrunsyah (cucu dari Sulthan Alam Bagagarsyah di
Sumanik) yaitu: Puti Reno Aminah memakai gelar Tuan Gadih Hitam,
Puti Reno Halimah memakai gelar Tuan Gadih Uniang dan Puti Reno
Fatimah memakai gelar Tuan Gadih Etek. Dan sekarang yang memakai
gelar Tuan Gadih ke XVI adalah Puti Reno Dismah Tuan Gadih
Gadang (anak dari Tuan Gadih Hitam), Puti Reno Nurfatimah Tuan
Gadih Angah dan Puti Reno Fatimah Zahara Tuan Gadih Etek (anak
Tuan Gadih Ketek).
Gelaran Yang Dipertuan Gadis dilekatkan kepada perempuan
yang dianggap dapat menjadi pimpinan kaumnya di dalam keluarga raja
mendampingi Raja Pagaruyung. Raja Pagaruyung sendiri mempunyai
3
gelaran Yang Dipertuan Bujang. Dengan demikian dapat dipahamkan
bahwa laki-laki yang dinobatkan menjadi raja Pagarayung dipanggil
juga Yang Dipertuan Bujang, disamping gelaran-gelaran kebesarannya
lainnya seperti; Sultan Abdul Jalil, Yang Dipertuan Sembahyang, Yang
Dipertuan Hitam dan banyak gelaran kebesaran lainnya. sedang yang
perempuan (ibu, saudara perempuan) dipanggilkan Yang Dipertuan
Gadis. Perempuan yang boleh diberi gelar Yang Dipertuan Gadis
adalah perempuan terdekat dalam keturunan raja, terutama dalam kaitan
pertalian sistem kekerabatan matrilineal. Oleh karena itu, adagium adat
dalam tambo tersebut disebutkan; Adat rajo turun tamurun, adat puti
sunduik basunduik. Turun tamurun atau turun temurun, dimaksudkan
sebagaimana mengikuti garis keturunan patrilineal, sedangkan sunduik
basunduik dimaksudkan sebagaimana mengikuti garis keturunan
matrlineal. Dengan demikian, seorang laki-laki dalam keturunan
tersebut dapat menjadi raja, apabila ibunya adalah keturunan raja dan
akan semakin kuat lagi kalau ayahnya juga keturunan raja.
Para perempuan keturunan raja menurut garis matrilineal, di
dalam Tambo Pagaruyung umumnya memakai nama kecil tersendiri
yaitu, Puti Reno. Dari sekian Puti Reno itulah nanti dipilih untuk
dijadikan Yang Dipertuan Gadis. Pemberian gelar Puti Reno hanya
dikhususkan bagi perempuan keturunan raja Pagaruyung saja.
Disepakati oleh Basa Ampek Balai. Oleh karena itu, di dalam tambo
Pagaruyung tersebut banyak ditemui nama-nama perempuan dengan
pangkal nama Puti Reno. Begitu juga banyak perempuan yang digelari
Yang Dipertuan Gadis. Yang Dipertuan Gadis adalah nama gelar
kebesaran, sedangkan nama Puti Reno sebagai nama pertanda keturunan
raja dalam garis matrlinel.
Disamping gelar Tuan Gadih yang ada di Pagaruyung ada Tuan
Gadih Saruaso yang pertama dipakai oleh Puti Reno Sudi yang kawin
dengan Indomo Saruaso adalah anak dari Puti Reno Pomaisuri Tuan
Gadih ke IV. Gelar Tuan Gadih Saruaso ini diwarisi sampai Tuan Gadih
4
Saruaso ke VII yaitu yang terakhir yang kawin dengan Daulat Yang
Dipertuan Sulthan Alam Muningsyah III (Daulat Yang Dipertuan
Basusu Ampek).
Dalam catatan Raffles sewaktu berkunjung ke pedalaman
Minangkabau, dia menjumpai seorang raja perempuan Minangkabau
yang bernama Yang Dipertuan Gadis Saruaso. Yang dimaksudkan
Raffles tersebut adalah salah seorang dari keturunan raja Pagaruyung
yang menjadi istri dari Indomo Saruaso. Begitu juga dalam catatan
Belanda, ditemukan nama Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu,
kemenakan dari Sultan Alam Bagagar Syah, anak dari Yang Dipertuan
Sembahyang. Hasil perkawinan Yang Dipertuan Sembahyang dengan
Tuan Gadis Puti Reno Sori. Yang Dipertuan Reno Sumpu disebut
demikian karena beliau lahir di Sumpur Kudus, dalam masa ayahnya
Yang Dipertuan Sembahyang yang menjadi Raja Adat dengan Tuan
Gadih Puti Reno Sori menetap di rantau itu di penghujung Perang
Paderi. Oleh karena Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah
ditangkap Belanda pada tahun 1833, dan Yang Dipertuan Sembahyang
dihalang oleh Belanda untuk kembali ke Pagaruyung, maka Yang
Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu kembali ke Pagaruyung untuk
menggantikan mamaknya Sultan Alam Bagagar Sah sebagai Raja Alam,
sekaligus menggantikan ayahnya Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan
Sembahyang sebagai Raja Adat dan Raja Ibadat serta melanjutkan tugas
waris ibunya Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sori.
Dari jalinan peristiwa ini ternyata yang berhak menjadi raja di
Pagaruyung bukan anak-anak dari Sultan Alam Bagagar Syah.
Walaupun dia raja tetapi karena istrinya bukan seorang Puti Reno, maka
anak-anaknya tidak dapat menggantikan kedudukannya sebagai Raja
Pagaruyung. Yang berhak menggantikannya sebagai ahli waris menurut
acuan “Adat Rajo turun tamurun Adat puti Sundut basundut” justru
Yang Dipertuan Puti Reno Sumpu, karena dia merupakan perempuan
dalam garis matrlineal; ibunya adalah Yang Dipertuan Gadis Puti Reno
5
Sori, saudara dari Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah dan
secara patrilineal dari ayahnya Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan
Sembahyang Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat
(Sumber : Tambo Pagaruyung dan Silsilah Ahli Waris Daulat Yang
Dipertuan Raja Pagaruyung.
Disarikan oleh : Puti Reno Raudha Thaib)

Kerajaan Minangkabau

KERAJAAN MINANGKABAU
Diperkirakan bahwa Kerajaan MINANGKABAU itu sudah berdiri semenjak abad ke-7 M,
yaitu dilembah sungai kampar dan Batanghari, kita sebut sebagai Kerajaan MINANGKABAU
Timur. Pada pertengahan abad ke-14 M, berdiri Kerajaan MINANGKABAU yang berpusat di
Pagaruyung Luhak Tanah Datar. Kerajaan ini hidup sampai permulaan abad ke-19 M.
Pada pertengahan abad ke-14, yang memegang tampuk kekuasaan di wilayah
MINANGKABAU adalah Datuk Katumanggungan.
Pada era itulah Adityawarman datang dari Majapahit, Jawa.
Ibu Adityawarman adalah seorang wanita yang berasal dari MINANGKABAU.
Dia kemudian dinobatkan menjadi Raja di Pagaruyung pada tahun 1349.
Kerajaan minangkabau PAGARUYUNG ini pada hakekatnya telah berakhir pada
tahun 1809, ketika Sultan Muningsyah I meninggalkan istana.
Raja-raja yang bertahta sesudahnya di Pagaruyung adalah Sultan Muningsyah II dan
Muningsyah III serta Puti Reno Sumpur.
Akan tetapi kekuasaan masing-masing Sultan dan Puti ini tidaklah begitu besar lagi.
Puti Reno Sumpur lahir di Sumpur Kudus, tempat kedudukan resmi Rajo Ibadat, pada tahun
1816, dan wafat di Pagaruyung pada tahun 1912 dalam usia 96 tahun.
Dari pihak ibu ia adalah keturunan Rajo Ibadat Sumpur Kudus, sedangkan dari pihak bapak ia
adalah keturunan seorang Rajo Adat di Buo. Dengan demikian, ia merupakan salah seorang
keturunan asli dari Raja-raja di MINANGKABAU.
Sebagai keluarga istana, ia berdaulat di daerah Singingi dan Gunung Sahilan.
Setelah Sultan Muningsyah II yang bergelar Sultan Alam Bagagarsyah dibuang
Belanda ke Betawi tahun 1833 tidak ada lagi raja bertahta di Pagaruyung. Barulah pada
akhirnya abad ke-19, Puti Reno Sumpur dijemput ke Gunung Sahilan dan didudukkan
kembali di Istana Balai Janggo, Pagaruyung, sebagai Tuan Gadih, yaitu Ratu yang tiada
berdaulat.
Kerajaan MINANGKABAU pada masa kejayaannya pada 14 dan 15 mempunyai
wilayah kekuasaan yang batas-batasnya meliputi :
1. Sebelah Timur antara kerajaan Palembang dan Sungai Siak
2. Disebelah Barat antara kerajaan Manjuto di Muko-Muko dan Sungai Singkel
3. Daerah asli kerajaan adalah Luhak Nan Tigo sekarang yaitu; Luhak Tanah Datar,
Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluah Koto.
Raja-raja dari kerajaan inilah yang kemudian memperbesar daerah pengaruhnya dari
pantai barat sampai pantai timur,sehingga mencakup kerajaan-kerajaan Indrapura, Indragiri,
dan Pucuk Jambi Sembilan Lurah.
Raja-raja dari daerah tersebut itu mengakui raja yang berkedudukan di Pagaruyung sebagai
“Raja Alam”, yaitu sebagai maharaja di antara mereka.
Dengan kata lain dapat dikemukakan, bahwa daerah kekuasaan MINANGKABAU
pada masa itu mencakup seluruh daerah Propinsi sumatera Barat kini, serta sebahagian
Propinsi Riau dan sebahagian Propinsi Jambi; hampir sama dengan daerah Propinsi Sumatera
Tengah pada permulaan kemerdekaan RI.
Adityawarman adalah putra Dara Jingga yang berasal dari keturunan Melayu
MINANGKABAU itu, dibesarkan dalam lingkungan istana majapahit yang beragama Hindu.
Pada tahun 1340 ia diutus oleh Raja Majapahit untuk menaklukkan MINANGKABAU dan
mengusai daerah penghasilan lada, karena pasukan-pasukan yang diutus sebelumnya
menemui kegagalan ketika berhadapan dengan Datuk Katumanggungan dan datuk Perpatih
Nan Sabatang. Mereka bukan kalah dalam pertempuran , melainkan kalah dalam sayembara
“Batakok Kayu Tataran Naga” dan “Adu Kerbau”.
Cerita tentang sayembara ini memperlihatkan “kecerdikan” orang Minang saja.
Pada waktu pasukan Majapahit dengan kekuatan yang lebih unggul dari kekuatan Datuk
Katumanggungan, memasuki wilayah MINANGKABAU, sang Datuk menjalankan siasatnya.
Komandan pasukan Majapahit diajak “beradu pintar” dengan Datuk.
Masing-masing disuruh menerka ujung dan pangkal dari sepotong kayu yang dinamakan
“Kayu Tataran Naga”. Kalau sang komandan dan rombongan berhasil menerkanya, maka
kekuasaan di MINANGKABAU bisa dia peroleh. Ternyata mereka gagal menerkanya, sedang
Datuk Katumanggungan berhasil dengan baik menunjukan mana pangkal dan mana ujung dari
sepotong kayu, yaitu dengan memasukan kayu itu ke air. Bagian pangkal kayu adalah yang
lebih dalam terbenamnya dibanding bagian ujungnya, karena ia lebih berat.
Rombongan pendatang mengaku kalah dan dengan sukarela kembali ke Majapahit.
Majapahit belum puas dengan misinya. Maka pasukan dikirim lagi untuk kedua
kalinya. Kedatangan pasukan ini pun dihadapi dengan siasat lain, yaitu “beradu Kerbau”.
Dan sebagaimana telah dipaparkan sebelumya, pasukan Majapahit pun kalah .
Ternyata, ”orang Minang memang banyak aka”
Dia mau terimpit - asal diatas.
Dia mau terkurung - asal di luar.
Kalau berjalan bergandeng dua - dia harus ditengah-tengah.
Dangakan nan di urang-lakukan nan di awak.
“ikolah cadiak pandai namonyo”, “psikhis resah”
Kesudahannya, sekitar pertengahan abad ke 14, Adityawarman datang ke
MINANGKABAU. Karena ibunya berasal dari orang Melayu MINANGKABAU, maka dia
terima. Dan tepat pada tahun 1347 Adityawarman berhasil mendirikan kerajaan
Suwarnabbumi di daerah Melayu/Jambi yang kaya dengan penghasilan lada. Sementara itu ia
senantiasa memperluas daerah kekuasaannya, hingga akhirnya, ia menguasai seluruh daerah
MINANGKABAU, dan memindahkan pusat kerajaan ke Pagaruyung di tempat yang bernama
Bukit Batu Patah. Dan ia berusaha untuk melepaskan hubungannya dengan kerajaan
Majapahit dan menjadi raja yang berdiri sendiri.
Mengingat latar belakang kehidupan dan pendidikanya di kerajaan Majapahit yang
beragama Hindu, Adityawarman sangat terpengaruh dengan sistem pemerintahan yang
otokratis dan susunan masyarakat berkasta-kasta. Sedang di MINANGKABAU didapatinya
cara pemerintahan yang demokratis berdasarkan musyawarah serta susunan masyarakat yang
tidak mengenal kasta, melainkan berdasarkan prinsip “duduk samo randah, tagak samo
tinggi”. Nagari-nagari di MINANGKABAU lebih mirip dengan republik-republik kecil yang
berdiri sendiri sehingga kekuasaan raja tidak dapat menjangkau urusan dalam masing-masing
nagari itu. Hal ini dipandangnya sebagai pengerbirian terhadap kekuasaan raja dan
menghambat kelancaran jalannya pemerintahan.
Oleh karena itu, Adityawarman mengemukan keinginannya supaya masyarakat di
Minagkabau disusun berkasta-kasta seperti yang berlaku dalam masyarakat Hindu, dan agar
pemerintahan diatur seperti yang berlaku di Majapahit, yaitu bertingkat-tingkat, sehingga
setiap nagari dikuasai penuh oleh raja. Keinginan ini mendapat tantangan , karena masyarakat
MINANGKABAU tidak menyukai hidup berkasta-kasta, dan mereka menjunjung tinggi
kehidupan demokrasi, dimana tiap-tiap nagari berhak mengatur dirinya sendiri.
Dengan kebijaksanaan para pemimpin adat, yaitu Datuk Katumanggungan dan datuk
Perpatih Nan Sabatang, didapatlah kompromi:
Pertama, bahwa pangkat-pangkat adatlah yang diatur bertingkat-tingkat, sehingga di samping
Penghulu sebagai kepala suku, diadakan pangkat Manti, Malin dan Dubalang. Sedangkan
kehidupan bersuku, berkampung dan bernagari tetap berdasarkan kerakyatan dan
musyarawah, serta duduk sama rendah, tegak sama tinggi.
Selain dari ketetapan tersebut diatas, masih ada beberapa ketetapan lainnya yang telah
disepakati bersama. Pertama, bahwa Adityawarman hanya diberi kedaulatan di daerah Rantau,
yaitu Pasaman, Pesisir Panjang, Kuantan, batanghari, Kampar dan Rokan.
Sedang di daerah Luhak Nan Tigo (Agam, Lima Puluh Koto dan Tanah datar ) ia hanyalah
sebagai lambang kesatuan saja, sebagai penengah atau pendamai, bila terjadi perselisihan.
Kedua, bahwa sebagai raja, ia tidak ikut dalam kehidupan bersuku karena sebagai penengah
ia harus berada di atas semua suku.
Ketiga, bahwa raja tidak mempunyai hak ulayat atas tanah karena hak ulayat tersebut
merupan hak mutlak bagi setiap nagari dan suku-suku dalam nagari.
Dengan demikian, kekuasaan Adityawarman sebagai raja MINANGKABAU yang
bertahta di Pagaruyung tidaklah mutlak, tidak mencakup seluruh daerah kerajaan
MINANGKABAU, dan tidak pula dapat menjangkau urusan-urusan dalam tiap-tiap nagari.

Abunawas

ABUNAWAS DAN MASJID TAQWA
Oleh:
Wisran Hadi
Raja yang satu itu memang aneh. Baginda selalu ingin menambah koleksi
bangunan-bangunan megah di sekitar istananya. Akan tetapi sampai sekarang, di depan
istana, masih saja berdiri sebuah bangunan yang selalu ramai dikunjungi orang untuk
beribadah. Oleh karena sang raja tidak mau dituduh sebagai perampok bangunan milik
masyarakatnya, maka tugas untuk mencaplok bangunan itu diserahkan kepada
Abunawas.
Abunawas dengan beribu akal bulusnya menancapkan sebuah paku besar di
dinding luar bangunan. Mula-mula masyarakat menganggap hal itu sebagai kegilaan
Abunawas saja. Namun dari hari ke hari Abunawas terus menggantungkan segala yang
busuk-busuk pada paku besar itu. Orang-orang yang beribadah dalam bangunan tua
kelabakan karena diserang aroma busuk. Ibadat mereka menjadi tidak khusyuk, namun
orang-orang tidak berani membuangnya karena paku besar milik Abunawas itu adalah
atas persetujuan sang raja.
Orang-orang akhirnya tidak mau mengunjungi bangunan itu lagi, tidak mau lagi
beribadat di sana. Berkali-kali orang mengadukan hal itu kepada sang raja, dan sang raja
dengan sopannya mengatakan semua itu adalah ulah Abunawas. Karena tidak tahan oleh
bau busuk, bangunan itu akhirnya dijual saja kepada kerajaan dengan harga yang sangat
murah pula. Maksud sang raja tercapai dan beberapa bulan kemudian bangunan itu
diruntuhkan dan di atasnya didirikan sebuah bangunan mewah yang baru. Bukan lagi
untuk tempat beribadat tetapi untuk tempat mengumbar syahwat.
Masjid Taqwa yang terletak di pusat kota Padang adalah bangunan yang selalu
ramai dikunjungi untuk beribadat. Didirikan oleh masyarakat Kampuang Jao dan
sekitarnya sejak berpuluh tahun lampau. Semakin hari, kompleks sekitar bangunan itu
semakin lama semakin ramai. Namun, sejak beberapa tahun belakangan, banyak orang
mengeluh karena bisingnya klakson angkot karena semua angkot bermuara di depan
masjid. Ditambah lagi kebisingan itu oleh suara hiruk pikuk mereka yang lalu lalang,
susahnya memarkir kendaraan, keamanan dan berbagai kesulitan lainnya.
Berkali-kali pengurus masjid memohon kepada Pemko agar ikut membantu
memberi ketenangan kepada orang-orang yang beribadah di sana. Mungkin Pemko punya
pendapat lain, yang salah itu adalah, kenapa masjid didirikan di pusat kota. Risikonya
tentulah harus menerima kebisingan kota dengan rela. Namun Pemko kemudian
bermurah hati juga dengan meletakkan papan larangan di depan masjid, agar semua
orang ikut membantu ketenangan orang yang menjalankan ibadah. Cuma papan larangan,
tak ada sangsi, tak ada pengawasan.
Berkali-kali surat kabar ini menyuarakan agar Pemko memindahkan tempat
angkot menurunkan dan menaikkan penumpang itu ke tempat lain, agar orang-orang yang
beribadah di masjid itu benar-benar mendapat ketenangan. Tapi, seumpama paku besar
Abunawas tadi, paku besar itu tetap juga ditancapkan di sana dan kebisingan semakin
meningkat dari hari ke hari.
2
Lalu, yang cukup mengangetkan adalah isyu yang berkembang di tengah
masyarakat, bahwa suara azan dari masjid terlalu keras sehingga menganggu
pendengaran sang raja dan para abdinya. Masjid itu akan dibeli dan akan dipindahkan ke
tempat yang lebih tenang. Sedangkan di tapak bangunan itu akan didirikan sebuah
kompleks pertokoan lagi seperti yang sudah dibangun pada terminal angkot di Pasar Goat
Hoat atau di bekas terminal Lintas Andalas yang kini telah menjadi Plasa Andalas.
Kini masyarakat bertambah gelisah, konon, Pemko akan mengizinkan lagi busbus
antar propinsi memasuki kota dan salah satu titiknya mungkin di sekitar Masjid
Taqwa pula. Mudah-mudahan ini hanya isyu dari para jamaah yang sudah sangat kecewa
terhadap lambannya usaha Pemko memberikan ketenangan bagi mereka yang tengah
beribadah di masjid itu.
Jika akan tetap begini juga keadaannya, sudah waktunya pengurus Masjid Taqwa
bersiap-siap memindahkan masjid yang dicintai masyarakat ini ke tempat yang lebih
aman, karena sampai sekarang si Abunawas kota Padang ini belum juga mau mencabut
paku besar tempat menggantungkan benda-benda busuknya itu.***

Sambah ka makan...

SAMBAH KA MAKAN

Pangka
:
Manolah baliau, tuan ….
Ujuang
:
Sambahkanlah, tuan ….
Pangka
:
Ikomah sambah nan ka dipulangkan ka bakeh tuan, dek curiang barih di hulu, dek andai pusako lamo, jikok basiang di nan tumbuah, jikok batimbang di nan ado, tumbuah sarupo iko kini.
Bungo dadok daunnyo leba
Rumah gadang sambilan ruang
Batatah timah atoknyo ijuek
Tuturan labah mangirok
Rumah si banto rang palangki
Duduek baselo ateh kasue
Jatueh basisiek umbuik pua
Kaladi tumbueh di telong.
Dek niek silang nan bapangka
Karakok nan bak bajunjuang
Nak mambari aie nan bak saraguek
Nak mambari nasi nan bak sasuok
Langkok jo pangacok lamak manih
Lah masak hidangan di dapue
Lah taranta lalu ka lua
Lah patuik kolah janang ka ujuang
Pituah juo ambo nan ka dibari, mah tuan …..
Ujuang
:
Lah ukue sampai, tuan ….
Pangka
:
Bilang sakiro itu lah tuan ….
Ujuang
:
Iyo pulo tumah sapanjang panitahan tuan tadi
Balaie biduek di muaro
Balabueh lalu ka subarang
Biduek nan dari tangah pasa
Nangkodo banamo sari ramo
Elok sabuang dek juaro
Elok alek dek si rajo janang
Adek alek bak kato sipangka
Kami di ujuang ka manuruik sajo, mah tuan …
Pangka
:
Lah ukue sampai, tuan ….
Ujuang
:
Bilang sakiro itu lah tuan ….
Pangka
:
Dang dikatokan lah dapek ambo aie nan bak satitik, rantiang nan bak sasakah, walau kato nan sapatah, lah baiek manyanang hati ambo. Baa toh nyo kini, janang iyo ka tagak sakali, mah tuan ….
Ujuang
:
Baitu molah, tuan ….
…….. Janang tagak mahidangkan jamba. Katiko jamba lah ka tangah ……
Pangka
:
Manolah baliau, tuan ….
Ujuang
:
Sambahkan lah, tuan ….
Pangka
:
Itu mah sambah nan ka ambo pulangkan ka bakeh tuan, sajak alek mulo jadi, sajak itam si merah kuku, tadanga piriang babunyi, iyo di dalam padapuran, tagak badiri si bujang janang, bukan bujang sambarang bujang, bujang nan sajak dahulunyo. Tateleang kupiah di kapalo, ma atue jamba jo hidangan, ma atok piriang di langan, rapek bak sirieh di gagangnyo. Patambuhan nan ka basilau, lap tangan basadiokan. Sabarih hidangan nan taranta, baiek di hadapan sagalo niniek mamak, di haribaan angku guru kito, walau di hadapan sagalo alek jamu. Tumah lah mamulangkan pulo si rajo janang ka bakeh ambo, ambo mamulangkan ka bakeh tuan, nan bahaso panatiangan nyo alah sampai. Baa toh nyo kini, cubolah layangkan pandangan jaueh, toloang tukiekkan pandangan dakek, geneangkan pandangan ka rusuek, habihkan lekok jo liku. Baa sabab mako baitu, lai juo kolah ado nan kurang, nan talampau, nan talompek. Kurang nak bulieh kito tukuek senteang nak buliah kito bilai, sarago jajang lai tagak juo. Sakian sambah jo salam ka bakeh tuan, mah tuan …
Ujuang
:
Lah ukue sampai, tuan ….
Pangka
:
Bilang sakiro itu lah tuan ….
Ujuang
:
Bana pulo tumah panitahan tuan nan tadi, jikok didanga lah elok bunyi, jikok dipandang lah elok rupo. Tapi samantang pun baitu, bak ibaraik rang mamanciang, sadang di rintang aie ilie, sadang di mabuek dek galombang, gilo di alun-alun buieh. Tali tagang piapuang ilang, kaie disemba dek gurami, Kaie putuih ikan ndak dapek, juaran patah umpan taserah, duduek tamanuang tukang panciang. Malakik tangan ka parambuk, manjalang banamg ka kumparan, di walakkan kato sakutiko, basaba tuan samantaro, mak tuan….
Pangka
:
Baitu molah, tuan …
…. Nan di ujuang barundiang jo nan bak tuo ….
Ujuang
:
Manolah baliau, tuan ….
Pangka
:
Sambahkan lah, tuan ….
Ujuang
:
Ikomah sambah nan ka ambo kumbalikan ka bakeh tuan, jikok di ambo indak ka baulang kili batikam jajak.Baa sabab mako baitu, baulang kili kok nyo sipi, batikam jajak kok nyo cupu, batitih batang kok nyo alie, diulang kato kok batimbang. Sakiro-kiro nak mangumbalikan ujuang rundingan tuan tadi. Apolah nan manjadi ujuang rundiang tuan tadi, kan lah mamulangkan pulo si rajo janang ka bakeh tuan, tuan mamulangkan ka bakeh ambo, nan bahaso panatiangan nyo alah sampai. cubolah layangkan pandangan jaueh, tukiekkan pandangan dakek, geneangkan pandangan ka rusuek, habihkan lekok jo liku. Lai juo kolah ado kurang nan ka di tukuek, senteang nan ka di bilai, sarago jajang lai tagak juo. Kan iyo baitu bana ujuang panitahan tuan tadi.
Pangka
:
Sabananyo, tumah tuan …
Ujuang
:
Jikok baitu, lah ambo bao paiyo patidoan jo baliau nan bak tuo sabalah ka ujuang, apolah nan manjadi panitahan dek baliau. Sabarih molah hidangan nan taranta nangko, lah mariak mangalun puntuang, lah data bak lantai papan, lah licin bak dindiang kaco. Dek arih janang tuan, tahu di jamba lanjuang, tahu di mangkuek kurang panuah, pinggan balusin banda padang. Antah hari ko nan elok, antah kotiko ko nan baiek, sadang wakatu bungo kambang, ajuang balaie di musimnyo. Sungguah pun baitu, pituah juo lah ambo nan ka dibari, mah tuan…
Pangka
:
Lah ukue sampai, tuan ….
Ujuang
:
Bilang sakiro itu lah tuan ….
Pangka
:
Bana pulo tumah sapanjang panitahan tuan tadi. Di sinan kan takana pulo ambo dek pituah urang tua kito, apolah nan manjadi pituah urang tuo kito.
Bagutu balam dalam sankak
Bakicau murai ateh batu
Merpati tabang mangirai
Sangkak tasangkuik di tinjauan
Tariek di tuan sadok nan taragak
Ambiek di tuan sado nan katuju
Nak samo kito pamulai
Baitu pituah dari si pangkalan, mah tuan ….
Ujuang
:
Lah ukue sampai, tuan ….
Pangka
:
Bilang sakiro itu lah tuan ….
Ujuang
:
Iyo pulo tumah sapanjang panitahan tuan tadi. Di sinan kan takana pulo ambo dek pituah urang tua kito,
Pulai tumbuah di Nata
Mati di parang sari ramo
Mulai lah tuan dari pangka
Nak kami turuik basamo-samo, mah tuan ….
Pangka
:
Lah ukue sampai, tuan ….
Ujuang
:
Bilang sakiro itu lah tuan ….
Pangka
:
Bana pulo tumah sapanjang panitahan tuan tadi. Di sinan kan takana pulo ambo dek pituah urang tua kito, apolah nan manjadi pituah urang tuo kito.
Si titah nak rang pulau punjuang
Anak rajo basuntiang cino
Titah ka samo kito junjuang
Rasaki ka samo kito tarimo
Rang sulik aie nak ka ripan
Pulang manjalang sanjo rayo
Singgah samalam ka tanjuang alai
Tariek lah aie basuehlah tangan
Makan kito basamo-basamo
Jo bismillah kito pamulai, mah tuan ….
Ujuang
:
Bismillahirrahmanirrahim…….
….. sadang makan, nak ka batambuah ….
Pangka
:
Tuan…..
Rang guguek pai ka pakan
Bakampuah kain ka sandangan
Adek duduek limbago makan
Batambueh makonyo kanyang, mah tuan ….
Ujuang
:
Mairik parang jo barani
Mairik karajo jo usaho
Iyo samo-samo diusahoan, mah tuan ….
…. Setelah salasai makan …
Ujuang
:
Manolah baliau, tuan ….
Pangka
:
Sambahkan lah, tuan ….
Ujuang
:
Itu mah sambah nan ka ambo pulangkan ka bakeh tuan, balaie tantu mahadang pulau, bajalan tantu mahadang parantian. Baa sawajah kini nagko, bak ibaraik rang bajalan, mah lah tibo pulo kami di kayu nan rampak rimbun daun, batu nan elok ka sandaran. Pituah juo lah ambo ka dibari, mah tuan ….
Pangka
:
Lah ukue sampai, tuan ….
Ujuang
:
Bilang sakiro itu lah tuan ….
Pangka
:
Bana pulo tumah panitahan tuan tadi, balahie mahadang pulau, bajalan mahadang parantian. Lah tibo pulo tuan di kayu rampak rimbun daun, batu nan elok kasandaran, balatak-an baban elok-elok, baranti bakipeh arak, mah tuan….
Ujuang
:
Bakuaso-an sakali, mah tuan …
Pangka
:
Baa toh nyo kami nan sadang kapanasan, pituah juo nan ka dibari, mah tuan ….
Ujuang
:
Bajalan juo ka nan tadueh, mah tuan ….
…..nak marokok…
Ujuang
:
Manolah baliau, tuan ….
Pangka
:
Sambahkan juo lah, tuan ….
Ujuang
:
Ikomah sambah nan ka di pulangkan ka bakeh tuan,
Muaropaneh jalan bakasiek
Basimpang jalan ka Kinari
Hari paneh rambahan masiek
Pituah juo kami ka dibari, mah tuan …
Pangka
:
Lah ukue sampai, tuan ….
Ujuang
:
Bilang sakiro itu lah tuan ….
Pangka
:
Iyo Muaropaneh jalan bakasiek
Kandang tabuek bateh Kinari
Ka kida jalan Parambahan
Iyo hari paneh rambahan masiek
Bacaca-an rabuek ka api
Baitu pituah sapangkalan, mah tuan …
Ujuang
:
Bakuaso-an sakali, mah tuan …

Mintak Pulang
Ujuang
:
Manolah baliau, tuan ….
Pangka
:
Sambahkanlah, tuan ….
Ujuang
:
Itumah sambah nan ka ambo pulangkan ka bakeh tuan, sungguah pun tuan surang nan dihadang dengan sambah, makna batin ka nan rapek, wujuik nyo sambah ka nan banyak. Sawujuik sambah jo simpuah, sabarek bungka nan piawai, naraco luruih main daun, indak basibak jo basisieh, bukan ba hinggo jo babateh. Baa toh nyo, ka bakeh tuan pulangnyo sambah, mah tuan....
Pangka
:
Ka bakeh nan basamo kumbalinyo, mah tuan ...
Ujuang
:
Nan bak ibaraik orang nan duduek di tapi pantai, dek lamo duduek maranuang, indak taraso hari lah patang, pasang naik manjirek kaki, badan tasintak maso itu, ombak baguluang dari tangah, bararak kaja ba kaja, ba guluang-guluang ka tapian. Rang elo parahu dari tangah, laie ditundo angin sanjo, matohari baransue ilang, ilang di lamun-lamun ombak, air sireh bak ameh urai, mambaleh cahyo ka langik, awan di barat sato masak pulo, bintang lah tampak maijok-ijok. Dagang nak baliek ka tampek surang-surang, ibu jo bapo nak pulang pulo. Mintak dilapeh jo hati nan suci muko nan janieh, mah tuan....
Pangka
:
Lah ukue sampai di tuan....
Ujuang
:
Bilang sakiro itulah, tuan ...
Pangka
:
Bana pulo tumah sapanjang panitahan tuan tadi, jikok didanga lah elok bunyi, jikok dipandang lah elok rupo. Tapi samantang pun baitu, nan bak ibaraik buruang pipik, babondoang hilie jo mudiek, malayok kiri jo kanan, panek malayok nyo malayang, pueh maninggi nyo marandah, hinggok di padang ribu-ribu. Satibo nyo di sinan, gilo mamakan buah rumpuik, litak lapeh hauih pun tibo, diminum ambun nan sa titiek, sajuak anggoto ka tujuehnyo, sabab lah sudah minum jo makan. Manjalang kapak ka dikirai, malakik kaki basitumpu, manuju pinang nan sabatang, pulang ka asa mulo tabang, diwalakkan kalam sakutiko, mananti tuan samantaro, mah tuan ...
Ujuang
:
Saba mananti molah ambo, tuan .....
.......... Si Pangka barundiang se saat jo nan bak tuo ...................
Pangka
:
Baliau tuan ….
Ujuang
:
Lalukan lah, tuan ….
Pangka
:
Ikomah sambah nan ka ambo kumbalikan ka bakeh tuan, jikok diambo indak ka baulang bak manyikek, babaliek bak mamanggang, sakiro-kiro nan mangumbalikan ujuang rundiangan tuan tadi. Apolah nan manjadi ujuang rundiangan tuan tadi. Di hari nan sahari kini, hari baiek kutiko elok, niek sampai kaue salamaik. Kasalamatan nyo itu, kok rasaki lah samo kito tarimo, do’a lah samo kito aminkan. Nan baa sawajah nangko kini, sakaji tuan nan datang, nan sabondoang pai satambuah lalu, kok selo lah minta diurak, simpuah minta diungkai, nak ma-ayun lenggang ma-ajang langkah, nak pulang ka tampek surang-surang. Mintak dilapeh jo hati nan suci muko nan janieh. Kan baitu bana ujuang panitahan tuan tadi.
Ujuang
:
Sabananyo mah tuan ….
Pangka
:
Jikok baitu, lah ambo tariek pulo paiyo patidoan jo baliau mamak nan bak tuo sabalah ka pangka. Apolah nan pambarian dari baliau, kok kandak lai ka balaku, kok pinto lai ka bulieh, tapi saketek lah ka dibanakan ka bakeh tuan, sabarih molah minum jo makan, makan kok kurang kanyang, minum kok kurang sajuek, duduek pun kok kurang pado tampeknyo, iyo rila jo maaf si pangkalan ka dibari, mah tuan ….
Ujuang
:
Lah ukue sampai di tuan....
Pangka
:
Bilang sakiro itulah, tuan ...
Ujuang
:
Bana pulo tumah panitahan tuan nan ka tangah. Sabarih minum jo makan, makan lah tibo bana di nan kanyang, minum lah tibo di nan sajuek. Nan bak ibaraik orang karimbo, aka dicari rotan nan bulieh, indak doh upek nan ka timbue, antak kok puji ba tibokan. Satantang rila jo maaf, lah talabieh dahulu, man tuan ...
Pangka
:
Lah ukue sampai di tuan....
Ujuang
:
Bilang sakiro itulah, tuan ...
Pangka
:
Saketek lai lah nan ka dibanakan ka bakeh tuan, sabalun selo tuan urak sabalun simpuah tuan ungkai. Kito lah nan jadi titian aie polongan asok ujuang kato sambungan lidah. Taradok kato nan tadoroang, salah tingkah rundiang tagawa, sangkuik sumangkuik dalam batin, barila-rila kito di siko. Isuek kok lai untuang samo baiek, umue lai samo panjang, di lain hari kito basuo. Bajalan lah tuan jo dukungan, nak tingga kami jo buaian.
Ujuang
:
Di siko rundingan kito habisi, Assamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Pangka
:
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakaatuh