Minggu, 03 Mei 2009

Kerajaan Darmasraya

Minangkabau masa Kerajaan Darmasraya


Dalam penulisan buku ini, kita hanya menghubungkan fakta-fakta yang ada dengan apa yang ditulis Prapanca dalam Negarakertagama mengenai Darmasraya dan “Pamalayu”. Sebelum kita bentangkan lebih panjang mengenai Raja Kertanegara dari Singosari yang mengirim Amoghapaca itu ke Sumatera, “Pamalayu”, Kerajaan Darmasraya dan tentang Adityawarman sebagai Raja Minangkabau, perlu kita sepakati terlebih dahulu, bahwa setelah masyarakat Minangkabau berkembang hingga ke tiga luhak, yaitu Lihak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limo Puluah, pusat kerajaan Minangkabau telah berpindah dari Pariangan Padang Panjang ke Dharmasraya di tepi Batang Hari. Perpindahan ini dapat diyakini setelah pesatnya perekmbangan perdagangan di jalur sungai pada masa itu. Apalagi seluruh nusantara dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Bukan tak mungkin Kerajaan Koto Batu yang tadinya berkedudukan di Pariangan, dipindahkan ke tepian Batang Hari atas desakan Sriwijaya. Perpindahan ini berlangsung sampai Sriwijaya Runtuh, terus kemudian muncul lagi Kerajaan Majapahit. Seperti disebutkan Rusli Amran dalam Plakat Panjang, sebuah ekspedisi telah dikirim oleh Raja Kartanegara dari Singosari ke Darmasraya yang terletak di hulu Batang Hari, pada tahun 1275. Ekspedisi ini terkenal dengan nama “Pamalayu”. Raja Darmasraya, Mauliwarmadewa dan kerajaan yang diperintahnya, dulu merupakan bagian dari Kerajaan Besar Sriwijaya, kemudian menerima kedatangan parajurit Singosari. Setelah hampir 20 tahun, tentara Singosari kembali lagi ke Jawa, antara lain memboyong 2 anak perempuan Raja Mauliwarmadewa: Dara Jingga yang tua dan Dara Petak, yang kecil, adiknya. Kedua wanita ini akhirnya, mendapat suami orang penting di istana Majapahit. Dari hasil perkawinan Dara Jingga dengan seorang petinggi Majapahit inilah inilah lahir Adityawarman. Jadi dia tak lain ialah cucu Raja Mauliwarmadewa dari Darmasraya. Adityawarman ini dibesarkan di istana Majapahit dan tahun 1339 berangkat ke Sumatra. Konon, Aditiyawarman ingin menjadi raja di Darmasraya menggantikan kedudukan kakeknya. Tetapi keinginan itu terbentur, sebab sepeninggal sang kakek, sudah ada raja lain yang dinobatkan, yang juga masih bertali darah dengannya. Kemudian, untuk mengwujudkan keinginannya ini, dia mendirikan Kerajaan Pagaruyung dan menjadi raja pertama di sana.Teori lain mengatakan bahwa Adityawarman baru sampai di Melayu 8 tahun kemudian, berdasarkan angka yang dipahat pada punggung arca Amoghapaca. Beliau menjadi raja sebentar di Dharmasraya, kemudian memindahkan pusat kerajaannya ke Pagaruyung di daerah Tanah Datar sekarang. Sejak itu muncullah Kerajaan Pagaruyung, dan Adityawarman tampil sebagai rajanya yang pertama. Apa sebabnya diadakan pemindahan itu, kita tidak tahu. Mungkin terjadi suatu coup d”etat di Istana Melayu/Darmasraya, mungkin diserang oleh Majapahit. Mungkin daerah baru itu lebih menguntungkan dipandang dari sudut ekonomi (bisa menyalurkan lada baik ke pesisir timur maupun barat) atau hanya ingin lebih safe terhadap ancaman Majapahit. Yang pasti, kata Rusli Amran, Kerajaan Melayu / Darmasraya sendiri tidak lenyap dengan perpindahan Adityawarman itu. Sebab kira-kira seperempat abad sesudah itu, baik Melayu maupun Pagaruyung / Minangkabau sama-sama mengirimkan utusan mereka ke Tiongkok.Pada sisi lain, kabarnya, kedatangan Adityawarman ke Darmasraya, kecuali untuk menemui kakeknya, juga mempunyai tugas khusus. Yakni merebut kembali daerah Lada Sungai Kuntu dan Sungai Kampar. Dahulu sesudah “Pamalayu” menurut ceritanya, daerah kaya ini tunduk pula pada kekuasaan Singosari. Setelah Kerajaan Singosari runtuh dan Majapahit belum lagi begitu kuat, daerah-daerah Kuntu / Kampar tersebut dapat direbut oleh Kesultanan Aru-Barumun yang telah memeluk agama Islam. Suatu ketika Adityawarman disuruh merebut kembali daerah lada ini oleh Patih Gajah Mada, yang menurut cerita sebahagian orang adalah anak dari dari Dara Petak, artinya Gajah Mada adalah sepupu oleh Aditiawarman. Tetapi setelah Adityawarman berhasil merebutnya, dan setelah mendirikan Kerajaan Pagaruyung, dia pula sekarang yang tidak ingin kembali ke Kerajaan Majapahit.Majapahit menganggap tindakan Aditiawarman sebagai sebuah pembangkangan. Maka ekspedisi pun kembali dikirim untuk menghajar Adityawarman.Tetapi (menurut ceritanya lagi) pasukan dari Jawa dapat dikalahkan dalam suatu pertempuran. Dalam legenda-legenda Minangkabau masih hidup cerita tentang pertempuran ini. Begitu “sengitnya”, begitu banyaknya mayat hingga medan tempur itu dinamakan Padang Sibusuk (sebuah nagari antara Sawahlunto dan Sijunjung). Begitu banyaknya tentara Jawa, hingga sebuah bukit batu bisa ludes hanya untuk mengasah pedang mereka. Bukit ini terkenal kemudian dengan nama “KiliranJao”. Cerita-cerita tentang “Padang Sibusuk” dan “Kiliran Jao” dapat pula dibaca dalam “Hikayat Raja-raja Pasai” dikaitkan dengan cerita “adu kerbau” di mana digambarkan kekalahan tentara Jawa dan harus mengundurkan diri. Dalam catatan sejarah Minangkabau selanjutnya, terbukti keturunan Adityawarman tidaklah merupakan raja-raja yang tangguh dan kuat. Sebab, yang berkuasa kemudian di Kerajaan Pagaruyung atau di Ranah Minangkabau, ialah pemuka-pemuka adat. Konon, pemuka adat di nagari-nagari tidak banyak memberi perhatian pada pemerintahan di Pagaruyung, yang lama-kelamaan hanya bersifat simbolis saja. “Demikianlah sedikit mengenai raja pertama Minangkabau. Sumber yang umum dipakai kecuali prasasti-prasasti disebut tadi, ialah dari Jawa seperti Pararaton, Negarakertagama, beberapa abad dicocokkan dengan data-data dari Tiongkok. Oleh karena sumber-sumber dari Jawa memang ada di istana, kita masih harus berhati-hati dalam menerima tafsiran-tafsiran yang telah dianggap standart dalam buku-buku sejarah. Akhirnya ada teori mengatakan Adityawarman sebagai pangeran Melayu asli dan “Pamalayu” bukanlah ekspedisi untuk menyerang tetapi semacam misi persahabatan dan Adityawarman sengaja dikirim ke Jawa untuk belajar karena dipersiapkan menjadi raja. Jadi (menurut teori ini) Kerajaan Minangkabau adalah Kerajaan Melayu asli dengan raja-rajanya sendiri,” sebut Rusli Amran dalam Plakat Panjang.***

Tidak ada komentar: